Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Hijrah: Mengolah Pustaka Hidup

Redaksi
×

Hijrah: Mengolah Pustaka Hidup

Sebarkan artikel ini

SEMULA saya tak meminati segala yang bernuansa alam. Sebab bagi saya itu hal biasa. Saya lahir dan besar di desa pinggiran Kota Sragen, Girimargo. Kemudian berkeluarga dan tinggal di Ungaran, yang juga merupakan kota kecil, yang masih banyak tempat-tempat alami.

Bahkan saya sempat menelan rasa kecewa ketika mendapati tempat tinggal di kompleks perumahan sempit yang ternyata persis di pinggir sawah, Desa Lerep. Jauh dari ekspektasi: tinggal di kawasan padat penduduk, dikelilingi gedung-gedung pencakar langit dan hotel berbintang. Dekat mall-mall. Dan sebagainya.

Yang alami bukan sesuatu yang istimewa. Hal yang biasa saja. Sehingga saya pun sempat mendambakan bakal mengisi keseharian hidup bersama anak-istri di tengah keramaian dan gemerlap kota. Memang, saya mengerti bahwa yang alami itu bagus. Saya tak membantahnya. Namun, ya, sekadar mengetahui. Tak benar-benar menghayati. Apalagi sebagai gaya hidup. Ah, sama sekali tidak (eh, belum).

Namun Charlotte Mason via Klub CMid membuka tabir yang menutup benak saya. Semenjak itu, saya malah hobi keluyuran ke sungai, hutan, atau sawah. Tempat yang benar-benar alami, bukan artifisial.

Saya kerap mengajak Rahma dan anak-anak untuk menikmati hutan pinus. Berjemur di pinggir Sungai Sapen, atau sekadar menyusuri pematang sawah yang membentang luas di Desa Lerep. Mereka beriang gembira di tempat-tempat seperti itu.

Bagaimana dengan taman kota? Tak lagi menarik. Taman tidak terlalu alamiah. Sulung dan ragil kami tidak sreg lagi dengan mainan-mainan seperti jungkat-jungkit, ayunan, tangga melengkung, atau papan luncuran yang tersedia di taman. Mereka ingin apa adanya, bukan buatan.

Charlotte Mason menggeser cara berpikir kami. Bahwa yang alami tak sekadar bagus, dan memang bagus, tapi harus mengalami. Bahwa oksigen itu kita butuhkan, kita mafhum.

Namun tak cukup hanya dengan memafhumi. Kita harus merasakan langsung betapa menghirup udara di alam bebas itu sungguh surga. Kita bisa saja menghadirkan alunan musik tentang suara burung, atau membuat taman hias di pekarangan rumah plus gemercik air. Namun akan berasa istimewa ketika kita mendengar dan melihat langsung burung-burung beterbangan dan berkicau di hutan.

Kita akan merasakan kedamaian ketika mendengar langsung bunyi air sungai yang menimpa bebatuan. Apalagi saat berendam di bawah guyuran air terjun, sungguh, betapa semua keindahan artifisial yang ada tak lagi mengundang selera.

Lantas, kami sekeluarga pelan-pelan belajar menghadirkan perasaan sayang terhadap alam. Menumbuhkan perasaan tak nyaman ketika membuang sampah sembarangan. Apalagi melemparkannya ke tengah sungai.

Termasuk sampai hari ini, saya dan Rahma belum berkeinginan (selain karena apa daya, duit tak sampai) untuk mengeraskan sepetak halaman rumah, memang hanya secuil, dengan semen atau paving block. Memang becek jadinya, tapi itu lebih berasa di hati ketimbang membetonnya. Kaki ini, ketika tanpa alas kaki, berasa nikmat saat bersentuhan dengan tanah dan rumput, serta terbit sikap penghormatan yang tinggi kepada bumi.

Saya acap memperhatikan Rahma, tampak impresi menyapu rontokan daun-daun yodium, mencabuti rumput-rumput yang mulai liar, dan menyiangi daun adenium, kemuning, pucuk merah, atau bidara.

Artinya, saya beruntung mengenal Charlotte Mason. Kami sekeluarga bersyukur lantaran kini berkomunitas dengan para praktisi metode Charlotte Mason. Tidak hanya soal alam yang telah mengembalikan sikap hidup yang lurus.

Tetapi juga terhadap pilihan buku. Pola belajar yang tidak lagi saklek, mesti bertarget seperti kurikulum sekolah. Termasuk harus me-review tujuan berkeluarga. Target pendidikan. Pola asuh. Dan seterusnya.