Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Impor Sampah Plastik Bisa Memperparah Kondisi Lautan

Redaksi
×

Impor Sampah Plastik Bisa Memperparah Kondisi Lautan

Sebarkan artikel ini

Sebanyak 70% plastik yang masuk ke fasilitas daur ulang di seluruh dunia akan dibuang karena tidak dapat digunakan. 

BARISAN.CO – Lautan tersedak sampah plastik oleh jutaan ton botol air, botol soda, sedotan minuman, dan kantong plastik sekali pakai. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyebut polusi plastik laut sebagai “malapetaka gerak lambat”.

Sementara, sebuah studi baru-baru ini menemukan Indonesia sebagai penyumbang terbesar kedua setelah China. Konsumsi plastik sekali pakai yang berlebihan dan pengelolaan limbah yang buruk sebagian besar penyebabnya.

Indonesia memiliki beberapa sistem terumbu karang yang paling beragam dan penting di dunia.  Namun, selama beberapa dekade terakhir, habitat tersebut menghadapi sejumlah tantangan, termasuk polusi plastik. Menurut PBB, sekitar 8 juta ton plastik dibuang ke laut setiap tahun. 

Namun, peningkatan polusi plastik yang belum pernah terjadi sebelumnya telah ditemukan oleh para ilmuwan, yang menghitung bahwa lebih dari 170 triliun partikel plastik mengapung di lautan.

Mereka menyerukan pengurangan produksi plastik dan memperingatkan pembersihan sampah di laut akan sia-sia jika kecepatan produksi sampah plastik terus seperti ini.

Penelitian yang dilakukan oleh 5 Gyres Institute dan diterbitkan dalam jurnal Plos One ini mengevaluasi tren plastik laut dari tahun 1979 hingga 2019.

Para penulis mencatat adanya peningkatan pesat polusi plastik laut dan menyalahkan industri plastik karena gagal mendaur ulang atau merancang daur ulang.

Dr Marcus Eriksen, salah satu pendiri 5 Gyres Institute menyampaikan, peningkatan eksponensial mikroplastik di seluruh lautan dunia adalah peringatan keras bahwa kita harus bertindak sekarang dalam skala global, berhenti berfokus pada pembersihan dan daur ulang, dan mengantarkan  usia tanggung jawab perusahaan untuk seluruh kehidupan hal-hal yang mereka buat.

“Pembersihan menjadi sia-sia jika kita terus memproduksi plastik dengan kecepatan saat ini dan kita sudah terlalu lama mendengar tentang daur ulang sementara industri plastik secara bersamaan menolak komitmen apa pun untuk membeli bahan daur ulang atau desain untuk dapat didaur ulang. Sudah waktunya untuk mengatasi masalah plastik di sumbernya,” kata Marcus.

Di sisi lain, selain produsen, impor sampah juga menjadi masalah tambahan bagi negara-negara berkembang dan miskin.

Data UN Comtrade, di tahun 2020, terdapat lima besar negara asal yang impor sampah plastik ke Indonesia;

  1. Belanda (51,5 ribu ton),
  2. Jerman (37,54 ribu ton),
  3. Slovenia (17,1 ribu ton),
  4. Amerika Serikat (13,27 ribu ton), dan
  5. Singapura (13,27 ribu ton).

Meski secara teori limbah dikirimkan untuk didaur ulang, namun diperkirakan hingga 70% plastik yang masuk ke fasilitas daur ulang di seluruh dunia akan dibuang karena tidak dapat digunakan. Sebagian besar akan berakhir sebagai limbah yang mencemari lingkungan.

Sedangkan, penelitian “Ekspor Sampah Uni Eropa ke Indonesia Sebagai Bentuk Eco-Imperialism” mengungkapkan, hilangnya Cina sebagai negara tujuan ekspor sampah menjadikan negara lainnya di Asia lainnya menjadi target dari mekanisme global waste trade.

Tidak semua sampah bisa didaur ulang. Inggris Raya misalnya, memiliki salah satu jejak plastik per kapita tertinggi di dunia, dan tidak memiliki infrastruktur atau insentif keuangan yang memadai untuk menangani jumlah plastik yang digunakan. Saat plastik bekas dikumpulkan untuk didaur ulang, sekitar setengahnya dibakar. Selanjutnya, 20% dikirim ke luar negeri untuk didaur ulang dan hanya 12% yang benar-benar didaur ulang di Inggris.

Untuk mengatasi permasalah sampah itu, Uni Eropa kemudian melakukan ekspor sampah dengan dalih dapat membawa manfaat ekonomi bagi kedua pihak. Sampah yang diekspor dapat digunakan oleh industri di Indonesia sebagai bahan baku.