Jika Denmark selama enam tahun berturut-turut menjadi negara paling bersih dari korupsi, hal itu justru berbalik dengan Indonesia.
BARISAN.CO – Laporan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) tahun 2023 yang baru dirilis akhir Januari lalu menunjukkan, Denmark selama enam tahun berturut-turut antara tahun 2018-2023 menjadi negara paling bersih dari korupsi dengan skor 90. Disusul Finlandia (97) dan Selandia Baru (85).
CPI memberi peringkat pada 180 negara dan wilayah di seluruh dunia berdasarkan persepsi tingkat korupsi sektor publiknya, dengan skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih).
Dari laporan Indeks Persepsi Korupsi itu, lebih dari dua pertiga negara mendapat nilai di bawah 50 dari 100, yang menunjukkan, negara tersebut mempunyai masalah korupsi yang gawat. Sedangkan, rata-rata global hanya berada pada angka 43.
Sementara itu, Indonesia memperoleh skor 34 dan menempati posisi 115 dari 180 negara. Skor itu tidak berubah sejak tahun 2022.
Jika Denmark selama enam tahun berturut-turut menjadi negara paling bersih dari korupsi, hal itu justru berbalik dengan Indonesia.
Indonesia bahkan selama jangka waktu tersebut belum pernah memperoleh nilai 50 dari 100. Mentok-mentok nilainya 40.
Jika menengok ke belakang, di tahun 2023 banyak peristiwa mengejutkan yang terjadi. Sepanjang tahun 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima 5.079 laporan dugaan korupsi. Angka itu meningkat dari tahun 2022 yang jumlahnya mencapai 4.623 laporan.
Di tahun 2023, yang paling mengejutkan adalah ditetapkannya Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka pemerasan terhadap Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Syahrul sendiri pada 13 Oktober 2023 telah ditahan KPK atas kasus pemerasan dan tindak pidana pencucian uang. Berbeda dengan SYL, Firli hingga kini belum ditahan.
CPI menyebut, melemahnya sistem peradilan telah mengurangi akuntabilitas pejabat publik, sehingga memungkinkan korupsi tumbuh subur. Baik pemimpin otoriter maupun demokratis sama-sama meremehkan keadilan.
Hal ini meningkatkan impunitas terhadap korupsi, dan bahkan mendorongnya dengan menghilangkan konsekuensi bagi para pelaku kejahatan. Tindakan korupsi seperti penyuapan dan penyalahgunaan kekuasaan juga menyusup ke banyak pengadilan dan lembaga peradilan lainnya di seluruh dunia.
Ketika korupsi menjadi hal yang lumrah, masyarakat yang rentan akan membatasi akses mereka terhadap keadilan, sementara masyarakat yang kaya dan berkuasa menguasai keseluruhan sistem peradilan, dengan mengorbankan kebaikan bersama. [Yat]