KETIKA ekonomi Indonesia tahun 2021 diumumkan tumbuh 3,69% pada Februari lalu, beberapa pejabat Pemerintah optimis akan kembali masuk kelompok negara berpendapatan menengah atas (Upper-middle income Countries). Salah satunya adalah Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu. Ternyata, Indonesia belum termasuk yang naik kelas menurut publikasi Bank Dunia awal Juli ini.
Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia memang naik signifikan, dari US$3.870 (2020) menjadi US$4.140 (2021). Namun belum melewati batas bawah kelompok menengah atas, yang sebesar US$4.256.
Perhitungan GNI sebenarnya serangkaian dengan Gross Dometic Product (GDP). Namun GDP atau Produk Domestik Bruto (PDB) memakai konsep wilayah sebagi basis perhitungan. PDB Indonesia berarti seluruh produksi di wilayah negara Indonesia.
Sedangkan GNI atau dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) disebut Pendapatan Nasional Bruto (PNB) telah memperhitungan nilai bersih dari faktor luar negeri. Pada data GNI, nilai tambah produksi oleh nonresiden (asing) di Indonesia dikeluarkan. Namun, dimasukan nilai tambah produksi oleh penduduk Indonesia di luar negeri.
Publikasi Bank Dunia atas GDP dan GNI harga berlaku dalam denominasi rupiah (local current) memiliki besaran yang sama dengan publikasi BPS. Sedikit berbeda dalam nilai yang dinyatakan dengan dolar Amerika, karena nilai kurs yang dipakai sebagai patolan. Begitu dalam hal nilai per kapita, karena faktor data jumlah penduduk.
Bank Dunia menyajikan data GDP Indonesia tahun 2021: nominal (US$1,19 triliun) dan per kapita (US$4.291,8). Dalam hal GNI: nominal (US$1,15 triliun) dan per kapita (US$4.140). Sedangkan BPS menyajikan nilai yang sedikit lebih tinggi. Misalnya, GDP per kapita mencapai US$4.349,5.
Nilai GDP dan GNI yang dinyatakan dalam rupiah cenderung meningkat selama ini. Sedangkan dalam dolar Amerika berfluktuasi, baik pada data BPS maupun data Bank Dunia. Antara lain karena faktor kurs rupiah terhadap dolar.
Untuk mencerminkan kondisi suatu negara, nilai per kapita dianggap lebih mewakili. Karena bisa saja nilai totalnya sangat besar, namun disebabkan karena penduduknya yang sangat banyak. Indonesia merupakan salah satu diantaranya.
Perbandingan antar negara dari data yang disajikan oleh Bank Dunia juga tak sekadar nominal harga berlaku (current) dalam dolar Amerika. Bank Dunia antara lain menyajikan data berdasar apa yang disebut dengan purchasing power parity (PPP). Dalam hal ini, dilakukan penyesuaian berdasar paritas daya beli. Satu dolar dimaksud dalam data PPP disetarakan dengan daya beli satu dolar di Amerika Serikat. Tentu berdasar metodologi dan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pada kasus Indonesia, perhitungan berdasar PPP selama ini membuat nilainya melonjak signifikan dibanding secara nominal. Baik dalam nilai total maupun per kapitanya. GDP per kapita (PPP) Indonesia tahun 2021 mencapai US$12.904,3. Tiga kali lipat dibanding berdasar nominal harga berlaku.
Selain penyesuaian atas paritas daya beli, Bank Dunia belakangan mengenalkan metode atlas (atlas method) atas data GNI. GNI metode atlas menerapkan faktor konversi kurs yang memperhitungkan perbedaan tingkat inflasi antar negara selama beberapa tahun pengamatan.
GNI Indonesia berdasar metode atlas pada tahun 2021 sebesar US$1.143,08 miliar. Sedikit lebih rendah dibanding GNI nominal yang mencapai US$1.154,47 miliar. Sedangkan GNI Indonesia per kapita berdasar metode atlas tahun 2021 sebesar US$4.140.
Atas dasar data GNI per kapita metode atlas itu lah. Indonesia naik peringkat menjadi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country) pada tahun 2019. Kemudian turun kembali menjadi negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income country) pada tahun 2020.