BARISAN.CO – Deretan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan institusi pendidikan belakangan ini mulai terkuak ke publik. Hal ini memicu kekhawatiran lembaga pendidikan tak lagi menjadi tempat yang aman dari aksi kejahatan.
Yang cukup disayangkan adalah kejadian tersebut baru diketahui karena setelah menjadi viral. Korban atau penyintas merasa tidak memiliki jalan lain untuk mencari keadilan.
Namun seperti ada upaya sengaja ditutupi oleh pihak tertentu dengan alasan kasihan terhadap korban jika dipublikasikan.
Kalis Mardiasih, penulis sekaligus aktivis yang peduli pada hak-hak perempuan mengatakan saat ini Indonesia masih darurat payung hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual. Hal inilah yang mendorong korban atau penyintas akhirnya mengambil ‘jalan pintas’.
Menurut Kalis, kasus kekerasan seksual yang seakan harus viral dulu atau viral based policy seharusnya bisa dicegah jika struktur hukum dan budaya hukum di Indonesia cukup untuk melindungi korban kekerasan seksual.
“Sayangnya, saat ini situasinya masih jauh dari yang diharapkan. Kita belum berhasil mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang dibutuhkan masyarakat, sehingga memviralkan kasus dianggap sebagai shortcut agar kasus segera mendapat perhatian dari para penegak hukum,” ucap Kalis mengutip beautynesia.id.
Seperti diketahui, RUU TPKS menemui banyak tantangan sejak diusulkan pada tahun 2016. RUU TPKS sempat ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020 pada Juli 2020 silam.
Tak cuma itu saja, RUU TPKS baru yang disusun oleh Badan Legislatif DPR RI juga memangkas 85 pasal yang berisi perlindungan bagi korban. Sementara, target persetujuan draf RUU TPKS didapat dalam rapat paripurna DPR RI pada 15 Desember 2021 mendatang. [rif]