Kita perlu berhitung secara cermat, sejauh mana industrialisasi di Indonesia memengaruhi cara pandang kita sebagai bangsa.
INDUSTRIALISASI dipercaya menjadi ‘obat mujarab’ kemakmuran. Keberadaannya penuh pesona dan menjadi mimpi banyak bangsa di belahan dunia.
Industrialisasi juga menjadi jalan sekaligus ukuran keberhasilan di hampir semua bangsa khususnya negara ketiga. Tidak berlebihan jika industrialisasi telah menjadi simbol puncak peradaban zaman kini karena semua sedang berkiblat ke sana.
Satu pertanyaan reflektif yang patut kita ajukan di era industrialisasi yang kini sudah mencapai gelombang empat (4.0). Apakah industrialisasi juga akan menjadi jalan kita? Apakah segenap energi bangsa ini perlu dikerahkan untuk mengejar ketertinggalan dan bersaing dengan bangsa lain?
Pada praktiknya hari hari ini kita memang sedang gegap gempita menyongsong laju industrialisasi. Kebijakan pembangunan juga tampak dikerahkan di semua lini agar kita siap menyesuaikan diri dengan perkembangan terkini.
Berbagai forum dan media menjadi ruang kampanye menyambut industrialisasi 4.0. Inovasi-inovasi baru dan penggunaan perangkat digital yang berbasis internet terus didorong dan difasilitasi pemerintah. Pada intinya masyarakat dipersiapkan dengan berbagai perangkat teknologi (barang maupun jasa) untuk berkompetisi dan menyesuaikan diri mengikuti perkembangan zaman.
Dalam pandangan saya, merespons industrialisasi adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Interaksi antarbangsa dan kesaling-tergantungan satu sama lain sudah menjadi bagian kehidupan saat ini. Namun pada saat yang sama, setiap bangsa punya keunikan dan otonomi masing masing dikarenakan mereka punya dinamika sejarah dan budayanya sendiri.
Ukuran-ukuran keberhasilan dan bagaimana cara menempuhnya tiap bangsa punya cirinya sendiri dan itu merupakan bagian dari indentitas bangsa yang bersangkutan. Menyeragamkan bangsa-bangsa dalam satu kantung industrialisasi adalah pilihan yang kurang tepat kalau tidak boleh dibilang sesat.
Patut dipahami, bahwa industrialisasi mulai dari industri 1.0 hingga 4.0 lahir dari konstelasi sejarah dan budaya Eropa. Bermula dari penemuan mesin uap oleh James Watts di Inggris telah berdampak pada berubahnya cara berproduksi dari manual (tenaga manusia/binatang) ke mesin.
Mesinisasi alat produksi melahirkan revolusi tata sosial baru yang tak hanya berkembang di Inggris tapi sudah merambah daratan Eropa hingga mendunia.
Tradisi inovasi di Eropa itu terus berlanjut pada penemuan penemuan berikutnya mulai dari listrik yang memicu industri 2.0, kompeterisasi dan robot (industri 3.0) hingga berpuncak industri 4.0 yang berbasis Internet.
James Watts menemukan mesin uap tidak datang tiba-tiba. Konstelasi sosial budaya Eropa kala itu sudah didahului dengan era pencerahan (renaisance) yang mendorong para inteletual bereksplorasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tradisi intelektual baru ini yang membuat tumbuhnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang kemudian mendunia.
Dari perspektif di atas, ilmu pengetahuan, teknologi dan kemudian berkembang secara pesat dalam bentuk industrialisasi adalah produk sebuah budaya. Ia bukan semata soal teknologi atau mekanisme berekonomi, tetapi didalamnya ada pergulatan nilai nilai, spirit dan pandangan hidup yang menyertainya.
Menyaksikan derap industrialisasi harus pula melihat nilai dan spirit yang dibawanya, dan itu berarti mencermati sejarah dan kebudayaannya.
Secara riil kita tak mungkin anti modernisasi atau anti industrialisasi karena hal itu sudah merupakan gerak zaman yang tak terelakkan. Tapi mengikuti jalan industrialisasi juga bukan jawaban atas kehidupan bangsa kita secara keseluruhan.
Sebagai bangsa merdeka yang memiliki dinamika sejarah dan budayanya sendiri, kita harus berani merumuskan identitas siapa kita, sampai di mana kita hari ini, harapan harapan kita akan masa depan dan apa yang kita butuhkan untuk mencapai harapan-harapan itu.
Mimpi masyarakat Eropa yang menyelinap di balik deru dan napas industrialisasi, tak bisa dipaksakan menjadi mimpi kita. Kemilau Industrialisasi pada kenyataannya tak selalu menjadi daya pikat bagi masyarakat Indonesia.
Gerak langkah kita harus menuju harapan kita, suasana jiwa masyarakat dan dengan cara kita. Bahwa dalam persimpangan sejarah kita bertemu dengan arus industrialisasi, itu adalah dinamika yang harus disikapi secara kreatif.
Indonesia mesti berhitung, sisi mana dan sampai batas mana serta pihak siapa saja untuk dilakukan penyesuaian secara tepat terhadap dinamika industrialisasi. Sementara dalam cara kita memandang dinamika masyarakat harus tetap dalam cakrawala yang luas, yakni pada masyarakat kita secara keseluruhan yang dalam terma modern masih berada pada tahap industri 1.0-4.0.
Pemerintah dan para pemuka bangsa kita perlu merumuskan arah perjalanan bangsa yang memperhatikan berbagai aspek. Mustahil mengikuti arus sejarah yang start-finishnya ditentukan pihak lain yang mereka telah melesat lebih dahulu.
Kita harus berani menentukan jalan dan ukuran-ukuran bagi kita sendiri. Modernitas dan industrialisasi hanyalah satu titik persinggungan sejarah pada momen dan waktu tertentu, tapi jalan tempuh bangsa ini mesti punya titik start dan finish-nya sendiri. Hanya dengan cara itu kita bertahan dengan identitas Indonesia dan kemerdekaan sebagai sebuah bangsa di tengah deru Indistrialisasi. [dmr]