MEMANG ada pepatah lawas “don’t judge book by its cover.” Kira-kira artinya jangan menilai buku dari kovernya. Maknanya kurang lebih, tidak elok hanya menilai sesuatu dari tampilan fisik atau wujud luarnya.
Itulah kesan pertama saya ketika jalan kaki menelusuri Gang Bunga, Matraman, Jakarta Timur. Di sana ada penanda di pinggir jalan bertengger nama “PT Balai Pustaka”. Gedung itu hanya sepelemparan batu dari Stasiun Pondok Jati dan Stasiun Matraman yang baru dibangun.
Gedung itu tidak menampakkan karakter sebagai sebuah kantor penerbitan pada umumnya. Apalagi kalau dibandingkan dengan kantor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) galibnya yang mentereng dan di kawasan prestisius.
Kalau tidak salah gedung yang digunakan Balai Pustaka sekarang awalnya adalah sekolah pariwisata. Jalan ke sana sangat sempit dan di sekitarnya banyak terparkir angkot serta bajaj dan kadang berkeliaran anjing yang lepas dari tuannya.
Itulah yang menyebabkan saya tersentak ketika Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim berbicara dalam forum yang diinisiasi pengusaha Chairul Tanjung (CT) menyinggung tentang budayawan, sastrawan serta buku yang pernah dibacanya seperti karya Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Taufiq Ismail dan banyak lagi.
Ketika nama itu disebutkan, langsung saya terkenang pada buku-buku terbitan Balai Pustaka yang saya baca di perpustakaan kecamatan di sebuah distrik di Rancah, Ciamis, Jawa Barat.
Buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka seperti Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Situ Nurbaya (Marah Rusli), Katak Hendak Jadi Lembu (Nur Sutan Iskandar), Salah Asuhan (Abdul Muis), Darah Muda (Djamiludin Adinegoro), Tenggelamnya Kapal van der Wick (Hamka), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana) dan Atheis (Achdiat Karta Mihardja) di antara buku yang menjadi bacaan wajib di sekolah ketika saya masih sekolah di udik.
Di antara sejumlah buku lawas itu dicetak ulang dan masih saya temukan di toko buku Gramedia. Bahkan pada 2013 buku Tenggelamnya Kapal van der Wijck diadaptasi ke layar lebar dan termasuk salah satu film yang paling banyak ditonton.
Balai Pustaka adalah harta karun. Tidak selayaknya perusahaan BUMN itu dipinggirkan dari pusat kota dan kawasan prestisius di Jalan Gunung Sahari sampai harus disingkirkan ke Gang Bunga di pinggir kali yang kotor
Saya mengetuk hati Presiden Jokowi dan juga Menteri BUMN bila memang berkomitmen mengusung Revolusi Mental justru yang harus mendapat perhatian pertama adalah memuliakan dan memajukan Balai Pustaka.
Kendati Balai Pustaka adalah entitas BUMN bukan semestinya menjadi perusahaan yang dikejar keuntungan. Justru perusahaan ini harus didanai secara khusus apapun itu nama dan skemanya untuk terus memproduksi dan mencetak ulang buku-buku bermutu yang membentuk dan membangun karakter bangsa. Bahkan diproduksi dalam turunan lainnya seperti komik, e-book, audiobook, animasi, film, podcast dan lainnya.
Kita malu justru yang tahu dan menyitir serta terinspirasi buku-buku lawas Balai Pustaka adalah PM Anwar Ibrahim. Lalu pejabat dan elite kita ngutip apa? [rif]