Scroll untuk baca artikel
Blog

Inggit Garnasih, Pendamping Kusno Saat Genting

Redaksi
×

Inggit Garnasih, Pendamping Kusno Saat Genting

Sebarkan artikel ini

SAAT ke Bandung, saya penasaran ingin melihat Penjara Banceuy, satu dari dua penjara di Bandung yang telah membuat jiwa pejuang Soekarno semakin matang setelah Sukamiskin.

Awalnya saya membayangkan penjara itu seperti LP Cipinang atau LP Paledang. Ternyata kini hanya tersisa petilasannya saja sebuah kamar berukuran 210 x 146 sentimeter persegi. Tapi dari sanalah lahir seorang pemimpin besar dan pidato pembelaannya tahun 1930 mengguncang penguasa kolonial Belanda, “Indonesia Menggugat”.

Kisah tentang penjara legendaris itu lebih banyak saya dapatkan dari sejumlah buku di antaranya “Kuanter ke Gerbang (Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno)”, sebuah biografi sejarah karya sastrawan Ramadhan KH.

Dalam biografi itu di antaranya dikisahkan tentang asmara bertaut umur antara Inggit (35) dan Bung Karno (22). Ini bukan percintaan biasa melainkan kisah romantika yang penuh perjuangan dan pengorbanan.

Ini bukan soal kisah cinta seorang anak kos yang mencintai induk semangnya yang telah bersuami. Kalau sampai sana, siapapun bisa.

Tapi coba bayangkan ketika Inggit yang menggadaikan alat rumah tangga dan perhiasannya untuk mendukung perjuangan Bung Karno (Inggit menyebut Sukarno itu Kusno).

“Wah berarti Bung Karno merebut istri orang, dong,” kata seorang teman dalam sebuah perbincangan di warung kopi lesehan.

Teman lain menimpali, “Kalau gitu bisa juga dianggap selingkuh ya.”

Sang teman kemudian membacakan halaman paling romantis dari buku karya Ramadhan KH tersebut. “Tatapannya seperti lebih menajam lagi, lebih mengepungku, mengalahkan segala kesunyian dan segala keakuanku. Dia ulangi lagi pernyataan sukanya kepadaku. Dia menggeser tangannya, merayap perlahan-lahan dan menyentuh tanganku. Kurasakan tenaganya. Dadanya mendekat, bibirnya mendekat. Aku ditarik dan berpindah tempat. ….Hendaknya semua maklum apa yang terjadi selanjutnya. Aku malu menceritakannya. (hal 32)

Teman saya yang selalu berpikiran jorok mengimbuhi, “Gimana ya perasaan Sanusi alias Kang Uci (suami Inggit). Cemburu nggak, ya?”

“Kalau jarak usianya jauh, berarti Ibu Inggit doyan brondong,” kata seorang teman lain.

Teman saya yang lebih bijak menimpali, “Bung Karno tidak merebut atau berselingkuh. Karena H. Sanusi yang usianya lebih tua dari Inggit tahu istrinya punya rasa dengan Bung Karno. Maka demi perjuangan Bung Karno, Sanusi rela menceraikan istrinya dan mengembalikan ke orangtuanya….”

Kemudian dia mengutip dialig Sanusi dan Inggit dalam buku Ramadhan KH, “Kita selesaikan persoalan kita. Bagaimana kalau seandainya kita benar-benar berpisah apa yang akan kamu perbuat?”

“Saya akan kembali ke Ema, Ibu. Ke rumah Ibu maksud saya.”

“Lalu?” tatapannya penasaran.

“Ya, begitu, tinggal bersama Ibu,” jawabku.

“Kalau begitu tidak bisa,” katanya. “Kalau begitu aku tidak setuju. Bakal memalukan dan jadi heboh.”

“Heboh apa?”

“Begini,” katanya sungguh-sungguh.

“Terimalah dulu lamaran Kusno itu. Setelah jelas begitu, Akang jatuhkan talak….Jadikanlah nikah dengan Kusno. Jadikanlah ia orang penting. Eulis (panggilan sayang) pasti bisa mendorongnya sampai ia menjadi orang penting. Kalau tidak begitu, bakal banyak saudagar yang mendekat Eulis, melamar Eulis, dan Akang tidak sudi.” (hal 37)

Teman saya yang rese berujar, “Emang ada cowok yang rela istrinya diembat orang?”

Itulah sejarah. Dari bagian kecil tentang sosok Bung Karno dan Inggit Garnasih ini bisa melahirkan berbagai pendapat atau kalau lebih serius lagi bisa muncul beragam interpretasi.

Pahlawan Nasional

Pemerintah Jawa Barat bertepatan dengan hari lahirnya Inggit Garnasih 17 Februari menggelar seminar dan sekaligus mengusulkan agar istri kedua Bung Karno itu dianugerahi gelar Pahlawan Nasional karena jasa-jasanya yang sangat krusial pada muasal kemerdekaan Indonesia.