Kartelisasi adalah sebagai situasi dimana partai politik melepaskan berbagai perbedaan ideologis dan programatis
Oleh: Imam Trikarsohadi
(Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik)
MENYIMAK hiruk pikuk perpolitikan Tanah Air sejak Pilpres hingga menjelang Pilkada serentak 2024, maka apapun itu instrumen, liak-liuk dan narasinya, hampir pasti kesimpulanya adalah bahwa sistem kepartaian di Indonesia berkarakter kartel politik.
Setidaknya ada beberapa indikator kuat bahwa kepartaian di negara ini berwujud kartel yakni; (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai,
(2) sikap permisif dalam pembentukkan koalisi, 3) tidak adanya oposisi,
(4) hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik dan
(5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.
Kelima ciri ini, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.
Kepentingan partai untuk menjaga kelangsungan hidup kolektif mengharuskan mereka membentuk kartel, sebab itu koalisi antara parpol silih berubah dan berganti pasangan.
Dengan demikian, kelangsungan hidup mereka ditentukan oleh kepentingan bersama untuk menjaga berbagai sumber keuangan yang ada, terutama yang berasal dari pemerintah.
Pada titik ini, sumber keuangan partai yang dimaksud ialah uang pemerintah yang didapatkan oleh partai melalui perburuan rente (rent-seeking).
Atau dalam bahasa lain, dapat dikatakan bahwa demokrasi Indonesia menderita apa yang disebutnya sebagai jebakan pertanggungjawaban.
Jebakan ini muncul karena partai politik gagal menjalankan fungsi pengawasan perimbangan (check and balances) di tingkat pemerintahan.
Yang terjadi justru kartel parpol guna memperebutkan rente ekonomi yang dimiliki para menteri melalui kontrolnya atas kabinet. Sebab itu, salah satu impian parpol adalah bisa menempatkan kadernya di kabinet.
Sejatinya, ada empat jenis watak sistem kepartaian di Indonesia yaitu pluralisme moderat, pluralisme ekstrim, pluralisme terbatas namun terpolarisasi dan pluralisme terpolarisasi.
Sebab itu, hanya ada satu arena persaingan politik yang real yakni, yakni Pileg, dimana hasil-hasil Pileg akan menentukan tindakan parpol di arena legislatif. Diluar itu, baik Pilpres maupun Pilkada, kecenderungan yang terjadi adalah politik kartel.
Ketika di satu parpol meraih kursi di parlemen, sangat mungkin mengambil tindakan berdasarkan pilihan ideologisnya dan kepentingan yang diwakilinya di parlemen.
Bila parpol membutuhkan koalisi, maka akan bergabung dengan parpol lain yang memiliki ideologi yang sama.
Namun, ketika berbicara dalam dunia riil, seperti yang saat ini sedang berproses, para parpol memperlihatkan jenis interaksi yang sungguh berbeda, jarak ideologis diantara mereka menghilang dan persaingan berhenti begitu pileg dan pilpres usai.
Dilema yang senantiasa dihadapi oleh partai politik dalam membuat berbagai keputusan yang melibatkan konflik tujuan adalah demi memelihara dukungan elektoral yang diperoleh dalam pileg dan/ atau pilpres, suatu partai mungkin mengorbankan salah satu tujuan partai politik dengan memilih tetap setia pada pilihan kebijakan yang sejak awal dirumuskan, atau ia memilih mendapatkan jabatan di kabinet namun tidak bisa lagi memegang teguh pilihan kebijakan atau ideologinya.
Dilema ini muncul ketika parpol membutuhkan mitra koalisi untuk membentuk pemerintahan, namun calon mitra tidak memiliki ideologi yang serupa.
Dilema ini berupa pilihan antara tetap memegang komitmen atau mendapatkan jabatan. Dalam situasi dilematis ini suatu parpol mengubah perilakunya demi mencapai tujuan yang berbeda.