Dilema yang senantiasa dihadapi oleh partai politik dalam membuat berbagai keputusan yang melibatkan konflik tujuan adalah demi memelihara dukungan elektoral yang diperoleh dalam pileg dan/ atau pilpres, suatu partai mungkin mengorbankan salah satu tujuan partai politik dengan memilih tetap setia pada pilihan kebijakan yang sejak awal dirumuskan, atau ia memilih mendapatkan jabatan di kabinet namun tidak bisa lagi memegang teguh pilihan kebijakan atau ideologinya.
Dilema ini muncul ketika parpol membutuhkan mitra koalisi untuk membentuk pemerintahan, namun calon mitra tidak memiliki ideologi yang serupa.
Dilema ini berupa pilihan antara tetap memegang komitmen atau mendapatkan jabatan. Dalam situasi dilematis ini suatu parpol mengubah perilakunya demi mencapai tujuan yang berbeda.
Jadi tidak terlalu keliru bila mengatakan bahwa kartelisasi parpol merupakan oposisi dari persaingan.
Persaingan dimulai ketika partai-partai bertarung demi mengartikulasikan berbagai kepentingan kolektif yang berbeda dan persaingan berakhir ketika mereka melepaskan pembelaan atas kepentingan kolektif tersebut.
Dalam hal ini, persaingan dapat dipertentangkan dengan kooperasi atau kartelisasi, bentuk kooperasi yang lebih khusus.
Dengan demikian, persaingan antar partai dapat didefinisikan sebagai situasi dimana partai menegaskan berbagai perbedaan politik mereka demi mengartikulasikan kepentingan kolektif kelompok sosial yang coba diwakili. Perbedaan itu bisa bersifat ideologis atau kebijakan.
Disisi lain, kartelisasi adalah sebagai situasi dimana partai politik melepaskan berbagai perbedaan ideologis dan programatis mereka demi sesuatu yang lain.
Dan situasi ini dimungkinkan, karena semua parpol pemilik kursi terbanyak memiliki kepentingan yang sama, yakni memelihara kelangsungan hidup kolektif mereka.
Batas ideologi tidak lagi menjadi penentu perilaku partai. Akibatnya oposisi tidak bisa dikenali dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Alih-alih mewakili kepentingan kolektif yang beragam, dalam sistem kepartaian yang terkartelisasi, sebagian besar partai politik cenderung melayani kepentingan mereka sendiri sebagai kelompok yang relatif otonom.
Sistem kepartaian yang terkartelisasi juga ditandai oleh terpisahnya pemimpin partai dengan konstituen mereka dan terpinggirkannya para oposan ditubuh parpol.
Jika suatu ideologi mewakili satu jenis kepentingan kolektif di masyarakat, ideologi yang terpolarisasi mencerminkan gerak berlawanan partai yang sedang bersaing secara ideologis.
Disisi lain, sistem kepartaian yang terkartelisasi diindikasikan oleh kabur atau hilangnya posisi ideologis parpol.