Jadi tidak terlalu keliru bila mengatakan bahwa kartelisasi parpol merupakan oposisi dari persaingan.
Persaingan dimulai ketika partai-partai bertarung demi mengartikulasikan berbagai kepentingan kolektif yang berbeda dan persaingan berakhir ketika mereka melepaskan pembelaan atas kepentingan kolektif tersebut.
Dalam hal ini, persaingan dapat dipertentangkan dengan kooperasi atau kartelisasi, bentuk kooperasi yang lebih khusus.
Dengan demikian, persaingan antar partai dapat didefinisikan sebagai situasi dimana partai menegaskan berbagai perbedaan politik mereka demi mengartikulasikan kepentingan kolektif kelompok sosial yang coba diwakili. Perbedaan itu bisa bersifat ideologis atau kebijakan.
Disisi lain, kartelisasi adalah sebagai situasi dimana partai politik melepaskan berbagai perbedaan ideologis dan programatis mereka demi sesuatu yang lain.
Dan situasi ini dimungkinkan, karena semua parpol pemilik kursi terbanyak memiliki kepentingan yang sama, yakni memelihara kelangsungan hidup kolektif mereka.
Batas ideologi tidak lagi menjadi penentu perilaku partai. Akibatnya oposisi tidak bisa dikenali dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Alih-alih mewakili kepentingan kolektif yang beragam, dalam sistem kepartaian yang terkartelisasi, sebagian besar partai politik cenderung melayani kepentingan mereka sendiri sebagai kelompok yang relatif otonom.
Sistem kepartaian yang terkartelisasi juga ditandai oleh terpisahnya pemimpin partai dengan konstituen mereka dan terpinggirkannya para oposan ditubuh parpol.
Jika suatu ideologi mewakili satu jenis kepentingan kolektif di masyarakat, ideologi yang terpolarisasi mencerminkan gerak berlawanan partai yang sedang bersaing secara ideologis.
Disisi lain, sistem kepartaian yang terkartelisasi diindikasikan oleh kabur atau hilangnya posisi ideologis parpol.
Sebab lain munculnya kartelisasi politik adalah karena hamper semua parpol di Indonesia sangat bergantung pada negara dalam hal pemenuhan kebutuhan finansial. Kebergantungan ini, disebabkan oleh merosotnya secara tajam kemampuan mobilisasi keuangan parpol melalui iuran anggota.
Menyurutnya basis tradisional sumber keuangan ini kemudian membawa parpol untuk lebih mendekat ke negara dan menjauh dari masyarakat. Dan kebergantungan mereka pada subsidi negara melalui proses subversi pada akhirnya menentukan kelangsungan hidup partai dan memicu munculnya jenis kartel.
Muncul dan terus berlangsungnya kartel tersebut bermula dari kebutuhan partai untuk mengamankan akses mereka ke dana-dana non budgeter.
Pada titik ini, ada dua kemungkinana. Pertama, partpol dapat melakukannya secara individual dan kedua secara kolektif.
Namun karena berbagai parpol terlibat dalam perburuan rente serupa yang merupakan aktivitas ilegal mereka sama-sama berada dalam situasi yang mirip. Mereka menjalani dan mengalami nasib politik dan ekonomi sebagai satu kelompok.
Begitu salah satu anggota kelompok menyingkap perburuan rente ilegal tertentu, maka sangat mungkin tercipta guncangan politik. Karena itu, kartel harus dijaga bersama.
Dengan demikian, kebutuhan untuk menjaga kelangsungan hidup bersama menjelaskan sifat sistem kepartaian yang dihasilkan, yakni sistem kepartaian yang terkartelisasi. Ideologi dan program partai dengan demikian hanya bersifat sekunder.
Dengan demikian, apa boleh buat, arena persaingan demokrasi seperti pileg, pilpres maupun pilkada bukan lagi manifestasi penghormatan atas suara rakyat, melainkan satu periode yang membuka lebar bazar kompromi, mengatur ulang posisi kekuatan politik masing-masing. []