Rendahnya literasi hingga tingkat kesopanan digital di tanah air membawa masalah genting, seperti rentannya berita palsu dan hoax, penindasan maya, dan bahkan kejahatan serius di dunia maya.
BARISAN.CO – Kurangnya keterampilan membaca dan menulis dasar menyebabkan kerugian yang amat luar biasa. Sebab, literasi tidak hanya memperkaya kehidupan, namun juga memberikan peluang bagi individu untuk mengembangkan keterampilannya yang dapat membantu mereka memenuhi kebutuhannya bahkan keluarganya.
Orang dengan kemampuan literasi rendah mungkin tidak bisa membaca buku, memahami rambu-rambu jalan, mengisi formulir, dan lain sebagainya.
Kini, di era tsunami informasi, kita perlu meningkatkan kemampuan literasi media digital juga untuk mengakses, menganalisis, membuat, dan menggunakan media digital. Itu mencakup segala sesuatu mulai dari bagaimana menemukan informasi yang kredibel hingga berkomunikasi melalui media sosial.
Dalam era digital, keterampilan berpikir kritis sangat diperlukan ketika menghadapi begitu banyak informasi dalam format yang berbeda. Yang artinya ialah kita harus bisa mencari, menyaring, mengevaluasi, menerapkan, dan menghasilkan informasi melalui cara berpikir kritis.
Komunikasi menjadi aspek kunci dari literasi digital. Ketika berkomunikasi dalam lingkungan virtual, kemampuan mengekspresikan ide dengan jelas, mengajukan pertanyaan relevan, menjaga rasa hormat, serta mampu membangun kepercayaan sama pentingnya saat berkomunikasi secara langsung.
Namun demikian, sebuah studi dari MIT Sloan menemukan, literasi digital memang membantu orang mengidentifikasikan misinformasi, namun tidak berarti berhenti menyebarkannya di media sosial.
Berdasarkan Laporan Indeks Kesopanan Digital (DCI) tahun lalu yang dikeluarkan Microsost tahun lalu, Indonesia berada di peringkat ke-29 dari 32 negara di ASEAN. Laporan itu menunjukkan masalah genting, seperti rentannya berita palsu dan hoax, penindasan maya, dan bahkan kejahatan serius di dunia maya. Selain karena populasi pengguna internet dan tingkat aktivitas online yang tinggi, perilaku online masyarakat bisa saja memengaruhi stabilitas internet regional dan internasional.
Kasus berita palsu yang belum lama ini menyebar, yakni soal Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan yang dituduh membagikan paket bagi pemudik berupa kaos dukungan pencalonannya sebagai presiden tahun 2024. Penyebar berita palsu itu justru dari kalangan partai politik. Yang pada akhirnya membuat panas media sosial. Meski, beberapa jam setelah tuduhan itu dibantah, namun kabar itu tetap dibicarakan.
Penindasan maya juga terjadi. Saat postingan bertuliskan, “Dalam hukum Islam melarang laki-laki Jawa menikah dengan pria Sunda. Hukumnya haram.” Orang-orang yang membaca tulisan tersebut tampak kesal dan melemparkan cacian karena dianggap rasis membawa-bawa suku Jawa dan Sunda. Padahal, sebagai netizen yang bijak, sepatutnya membacanya dengan cermat, bahkan jika perlu menggarisbawahi adanya kata laki-laki dan pria. Tentu saja, dalam Islam hukumnya haram. Namun, terkadang masyarakat kita cenderung emosi dahulu, minta maaf malu-malu.