BARISAN.CO – Kembali aktifnya AKBP Raden Brotoseno di Korps Bhayangkara menuai pro dan kontra. Bagaimana mungkin, seorang mantan narapidana kasus korupsi kini kembali aktif menjadi penyidik Polri.
Polri menyatakan tidak memecat eks penyidik KPK Brotoseno yang merupakan mantan terpidana kasus suap menunda perkara korupsi cetak sawah pada 2012-2014 dan divonis 5 tahun penjara serta dikenakan denda Rp 300 juta dalam perkara tersebut dengan alasan termasuk polisi berprestasi, kendati kini mantan koruptor suka tidak suka melekat padanya.
Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, mengatakan keputusan Sidang Komisi Kode Etik Polri itu bertentangan dengan komitmen antikorupsi yang beberapa kali dilontarkan Kapolri. Seharusnya, kata dia, Polri memberhentikan Brotoseno yang terbukti menerima suap.
Dia mengingatkan keputusan Presiden Joko Widodo pada Februari 2015 terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi saat itu. Jokowi memberhentikan keduanya karena menjadi tersangka di dua kasus berbeda—yang belakangan dihentikan.
“Padahal mereka statusnya masih tersangka, belum terbukti. Lha, ini (Brotoseno) sudah vonis,” kata Asfinawati, dikutip dari Tempo, Kamis (2/6/2022).
Menurut Asfinawati, Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus turun tangan jika benar-benar ingin membenahi Polri.
Pasalnya, sesuai dengan Pasal 15 dan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian, Kapolri adalah pemegang kewenangan keputusan memberhentikan dan mempertahankan anggota kepolisian berpangkat paling tinggi ajun komisaris besar.
Pasal sebelumnya mengatur pemberhentian tidak dengan hormat terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana dan dipenjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sementara itu, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Joshua Mamoto mengatakan, berkaca pada kejadian Brotoseno tersebut yang kini ramai menjadi buah bibir, ia ingin agar Polri bisa lebih berhati-hati lagi dalam melaksanakan sidang etik terhadap anggota yang bermasalah.
“Jadi memang menurut saya, Polri perlu peka ya. Ini jadi isu yang sensitif, karena ini juga menjadi kejahatan serius yang sangat disorot oleh publik, ketika putusannya ringan saja kita sudah lihat di media, ketika pengadilan mutus ringan saja sudah ribut. Oleh sebab itu, menurut kami kedepan Polri perlu lebih hati-hati ketika sidang kode etik dilaksanakan,” kata Benny.
Perjalanan Kasus yang Menjerat Brotoseno
Sebagai informasi, nama Brotoseno kembali menjadi buah bibir setelah Mabes Polri menjawab kabar yang beredar tentang kembali aktifnya terpidana perkara suap tersebut sebagai penyidik kepolisian.
Brotoseno terjerat kasus korupsi pada November 2016. Saat itu, dia berpangkat AKBP di Bareskrim Polri. Dia terjerat kasus korupsi dalam penanganan perkara cetak sawah di Kalimantan pada 2012-2014.
Brotoseno saat itu dijerat bersama dengan anak buahnya yang bernama Dedy Setiawan Yunus. Keduanya diduga menerima suap Rp 1,9 miliar dari pengacara salah satu tersangka di kasus cetak sawah tersebut.
Kasus Brotoseno ini ditangani oleh pihak kepolisian. Setelah proses penyidikan berjalan beberapa bulan, kasus Brotoseno disidangkan pada 1 Februari 2017.
Dalam sidang perdana dengan agenda dakwaan, Brotoseno bersama Dedy didakwa menerima suap Rp 1,9 miliar dari total commitment fee sebesar Rp 3 miliar dari Harris Arthur Hedar dan Lexi Mailowa Budiman. Harris dan Lexi merupakan pengacara.