Scroll untuk baca artikel
Kesehatan

IYCTC: Cukai Rokok Bukan Pendapatan Negara

Redaksi
×

IYCTC: Cukai Rokok Bukan Pendapatan Negara

Sebarkan artikel ini

Narasi yang sering kali masyarakat dengar adalah cukai rokok sebagai penyumbang terbesar dalam penerimanaan cukai negara. Tapi narasi itu dipatahkan Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC).

BARISAN.CO – Sejak 1 Januari 2022, pemerintah secara resmi menaikkan tarif rata-rata tertimbang cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 12 persen. Pada tahun 2021, berdasarkan Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), realisasi penerimaan CHT hingga akhir November sebanyak Rp161,7 triliun.

Narasi yang sering kali masyarakat dengar adalah cukai rokok sebagai penyumbang terbesar dalam penerimaan cukai negara. Itu diindikasikan dengan meningkatnya pendapatan negara. Namun, justru narasi itu tidaklah benar.

Dalam Konferensi Pers Suara Kaum Muda: Setop Manipulasi Zat Adiktif Tembakau di Indonesia yang diadakan oleh Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC), narasi itu justru dipatahkan.

“Terkait cukai yang perlu kita pahami adalah tujuan cukai hadir itu bukan sebagai pendapatan negara, tapi cukai hadir sebagai bentuk pengendalian. di UU juga disebutkan, barang-barang yang mempunyai atau dikenakan cukai adalah barang-barang yang konsumsinya perlu dikendalikan. Salahsatunya yang kita tahu produk tembakau,” kata Daniel Beltsazar Jacob dari divisi Penelitian dan Pengembangan IYCTC pada Rabu (18/5/2022).

Daniel menambakan, selain produk tembakau, alkohol juga dikenai cukai

“Jadi, pemahaman yang perlu dimiliki adalah cukai hadir bukan sebagai biar negara makin kaya, tapi justru sebagai bentuk pengendalian. Kalau di luar negeri, cukai kita sebut sebagai sin tax, pajak dosa,” ujarnya.

Konsep pajak dosa pertama kali dikenalkan oleh Adam Smith di tahun 1776. Kemudian, tahun 1790, Alexander Hamilton mengusulkan pajak cukai pertama untuk wiski. Dan, selama Perang Saudara, pemerintah federal AS, pertama kali menerapkan pajak dosa pada produk tembakau.

Di Swedia, tarif cukai yang berlaku untuk produk rokok di tahun ini dihitung dengan kalkulasi sebagai berikut; SEK 1,64 x jumlah rokok (dalam kemasan) + 1% x harga eceran. Contohnya:

SEK 1,64 x 20 batang + 1% x SEK 60 = 33,40 Euro per bungkus. Artinya, konsumen apabila membeli satu bungkus rokok harus membayar sebanyak 33,40 Euro. Sedangkan di Indonesia, misalnya saja untuk merek Gudang Garam, tertulis cukainya senilai Rp22.875/12 batang, namun konsumen justru membayar dengan harga di bawah nilai cukai yang berlaku tersebut.

“Tujuan cukai hadir, sederhananya karena produksi tembakau itu berbahaya karena berbahaya, makanya perlu dikendalikan. Mekanismenya berupa pergantian untuk meminimalisir atau untuk mengemban kerugiannya itu perlu ada pendapatan dari cukai. Tapi, bukan berarti semakin baik atau semakin banyak pendapatan yang dihasilkan dari cukai, justru makin baik.