Menurut Daniel, seharusnya semakin banyak pendapatan cukai berarti pengendaliannya harus diperkuat.
“Artinya kalau cukainya semakin naik, konsumennya semakin naik. Padahal tetap tujuannya terbalik. Tujuan cukai adalah untuk menekan angka konsumsi,” tegas Daniel.
Sedangkan, Sekretaris Jenderal IYCTC, Rama Tantra menyampaikan, ketika pendapatan rokok tinggi artinya itu permasalahan di sebuah negara karena membuktikan abai dengan hak perlindungan masyarakat terhadap kesehatan yang ditimbulkan.
“Makanya, narasi ini adalah narasi yang selalu dibentuk untuk mempertahankan mereka. menormalisasi keberadaan mereka di masyarakat. bahwa mereka berkontribusi pada negara, padahal seharusnya tidak seperti itu konsepnya cukai. Harusnya terkendali, semakin tinggi cukai berarti semakin banyak yang beli,” kata Rama.
Rama menyimpulkan, dengan begitu yang yang untung bukan negara, tapi industri rokok karena mereka yang menerima banyak pendapatan.
“Mereka yang dapat pemasukan uangnya dari orang-orang korban produk mereka yang beli. Mereka yang kaya bukan negara,” jelas Rama.
Fasilitator Forum Anak Kota Ambon (Fakota), Jordan Vegard menyebut, sebenarnya ada fakta uniknya lainnya, namun mungkin tidak pernah dinarasikan.
“Sebuah pernyataan dari bapak Siswanto, kepala Badan Litbang Kesehatan di tahun 2019 menyampaikan hampir 4.200 triliun atau 1/3 dari PDB kita hilang akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok yaitu kematian dini dan tahun produktif karena sakit,” ungkap Jordan.
Dia menambahkan, Kementerian Kesehatan pun sempat menyampaikan, kerugian negara lebih banyak dibandingkan pendapatan dari cukai rokok.
“Jadi, sekali lagi penggiringan seperti itu terus diberikan kepada masyarakat. Padahal ada fakta-fakta yang kurang dikulik oleh kita,” tutur Jordan. [rif]