Masih saja ada (dan tidak sedikit) yang fanatik bahwa politik dianggap begitu menentukan, seolah ia adalah satu-satunya kekuatan sejarah. Memang politik penting, tapi pentingnya politik terbukti tidak sebesar dugaan “oknum”. Kuntowijoyo mengungkapkan, “Jangan mengagamakan politik, menganggap politik sebagai agama.”
Kenyataan menunjukkan, kekuasaan politik tidak jadi determinan untuk perkembangan ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Negara bisa mengalami pasang surut, tapi acap pula sejarah ekonomi orang Cina justru maju terus.
Politik tidak banyak menentukan kekuatan ekonomi, ini terbukti dalam usaha franchise, bisnis transnasional seperti perhotelan, dan perdagangan bebas melintas batas teritorial negara.
Politik juga tidak dapat mencegah tumbuhnya mobilitas sosial. Seperti dulu pada penerapan asas tunggal Pancasila, seolah efektif membungkam kekuatan sosial, tapi justru mobilitas kelas menengah terpelajar malah meluas.
Budaya sebagai kekuatan juga lebih awet ketimbang politik. Puisi-puisi Hamzah Fanshuri dari Aceh pada abad ke-16 dan ke-17, masih berpengaruh hingga republik ini berdiri menggantikan kesultanan Aceh yang sempat berjaya pada abad puisi itu lahir. Kasidah Burdah dan Barzanji, dari Timur Tengah, pengaruhnya masih terasa di sini dan hari ini, melampaui batas waktu dan negara (kekuatan politik).
Pelarangan buku-buku novel, pencekalan terhadap seniman, dan pemanggungan musik yang dikecam, justru menaikkan pamornya di tengah masyarakat. Keingintahuan orang-orang terhadap karya-karya Pramoedya Ananta Toer lebih besar, justru saat kekuatan politik memvonis sebagai karya terlarang.
Terakhir dan ini yang terutama, agama tidak bisa diatur oleh kekuatan politik. Agama tumbuh tidak dengan logika kekuasaan, tapi logika kepercayaan. Agama memiliki vitalitas yang berbeda dengan politik, misal gagal melintasi jalur permukaan, agama akan bergerilya di bawah.
Dalam sebuah tulisan, Kuntowijoyo menyayangkan semangat ormas Islam membidani berdirinya partai politik Islam. Kuntowijoyo prihatin, dan saya turut dia dalam membaca sejarah, bahwa tidak seyogianya umat Islam mempertaruhkan sepenuh hidup untuk dan dalam politik.
Sekali lagi, politik memang penting, tapi tidak utama. Politik itu berjangka pendek. Lagi-lagi sejarah menunjukkan, kekuasaan Islam di Spanyol, yang tujuh abad itu (VIII-XV), sama sekali tidak ada bekasnya sekira tak ada arsitektur Islam di sana. Juga di India, bahwa kekuasaan Mughal, yang tujuh abad pula (XII-XIX), sama sekali tidak mengubah India menjadi mayoritas muslim.
Juga Belanda, yang konon salah satu misinya menyebarkan ajaran Kristen, meski bercokol 350 tahun di bumi Indonesia, tetap tidak bisa meng-kristen-kan seluruh penduduk. Mayoritas penghuni negeri ini adalah muslim, berkat usaha para ulama (wali) yang bergerak secara budaya.
Kuntowijoyo menggambarkan bahwa agama ibarat sinar terang tunggal yang memancar dan kemudian terurai dalam pelbagai sinar. Uraian itu mewujud kehidupan sosial, kebudayaan, sistem pengetahuan, iptek, filsafat, mitos, politik, dan sebagainya.
Nah, betapa memiskinkan sekira umat Islam hanya fokus pada politik, sementara banyak sinar yang lebih terang dan menjanjikan masa yang panjang.
Doktor sejarah itu teramat sedih menyaksikan kekayaan agama menjadi miskin karena putra-putra terbaik umat Islam dijuruskan hanya ke politik. Karena menurutnya, politik itu gampang.
Rumusnya cukup dengan retorika, demagogi, dan mobilisasi massa. Hasilnya pun menonjol di permukaan, seperti sekian orang dalam lembaga legislatif, dan orang “kita” yang jadi eksekutif, yang duduk di yudikatif.