Menyuruh anak diam, betapa banyak guru meminta anak untuk ‘diam’, ketika mereka berbicara karena dianggap rewel, mengganggu, atau membuat kesal
BARISAN.CO – Dalam sebuah seminar nasional, saya mendengarkan paparan narasumber yang amat memukau, dan materi yang disajikan menurut saya sangat luar biasa. Semua yang hadir memperhatikan ke depan, kecuali beberapa orang yang kebetulan duduk di deretan kursi tepat di belakang saya. Mereka amat mengganggu konsentrasi saya menyimak paparan narasumber. Apalagi posisi deretan kursi saya ada di bagian agak ke belakang.
Di pertemuan murid-murid SMP saya menyampaikan studium general tentang motivasi menulis. Sepanjang saya berdiri di hadapan mereka menyampaikan materi, sebagian murid yang duduk di barisan belakang, ada juga yang di tengah.
Bahkan tiga orang anak di bagian depan, asyik mengobrol. Bu guru yang tidak jauh dari mereka memberi isyarat agar mereka diam. Tak sedikitpun isyarat guru itu digubris, mereka tetap melanjutkan obrolan mereka sementara saya terus menjelaskan materi.
Saya menghentikan penjelasan untuk jeda, dan memberikan murid-murid itu kesempatan untuk bertanya, “baik, siapa yang mau bertanya? Atau siapa yang mau menyampaikan pendapatnya?”.
Seketika seluruh murid hening, semua hanya diam terpaku, kecuali beberapa anak yang sedari tadi asyik ngobrol. Saya coba sapa mereka untuk memancing pertanyaan. Mereka diam, semua murid hanya diam. Yang sebelumnya asyik berbicara saat saya menjelaskan materi juga terdiam.
Fenomena seperti itu menjadi umum dan lumrah di dalam acara pertemuan. Orang-orang sibuk berbicara ketika seharusnya mereka mendengarkan. Anak-anak kita senang berbicara ketika mereka seharusnya menyimak.
Saat mereka diminta untuk bicara, justru mereka tidak mau atau tidak mampu. Bahkan perilaku tersebut tidak sedikit juga ada pada mahasiswa atau orang-orang dewasa lainnya. Tidak mampu menjadi pendengar yang baik, dan tidak percaya diri untuk berbicara di depan publik.
Mengapa anak sulit untuk percaya diri dan tidak berani berbicara?
Mari kita perhatikan pola pendidikan di sekolah-sekolah atau pola pengasuhan di rumah yang senantiasa memilih “cara singkat” menyetop anak berbicara. Pada prinsipnya, kemampuan berbicara tumbuh dan berkembang dalam diri anak di mulai sejak usia dini sekali.
Anak-anak yang tidak memiliki gangguan speech delay dan tidak memiliki gangguan pendengaran akan mampu berbicara dengan cepat sesuai kebiasaan dan kepengasuhan orangtua di rumah serta lingkungan.
Sejak bayi, secara alamiah, anak-anak belajar berbicara dengan cepat seiring stimulus yang ia terima dari lingkungan dirinya. Hingga usia 1 tahun, umumnya anak sudah menguasai banyak kosa kata. Meskipun kosakatanya terbatas, orangtua dapat mengembangkannya dengan mengajak berbicara setiap hari. Sayangnya, orangtua atau guru gagal paham tentang kondisi dan keinginan anak untuk diperhatikan.
Ketika batita (bayi tiga tahun) belajar bicara, pasti tidak ada orangtua yang menahannya untuk meyuarakan kata-katanya. Maka pertumbuhan kemampuan berbicara anak berlangsung secara cepat.
Tapi, seiring keaktifan dan kemampaun anak bertambah, berapa banyak orangtua yang mulai sering membatasi mereka? Betapa banyak guru meminta anak untuk ‘diam’, ketika mereka berbicara, karena dianggap rewel, mengganggu, atau membuat kesal.
Kebiasaan orangtua yang suka membatasi ekspresi anak, mengekang kebebasan anak untuk menyampaikan keinginannya, adalah karena itu dianggap sebagai “gangguan” bagi orangtua, juga perilaku impulsif yang dipandang negatif.
Kemudian alih-alih orangtua mendengarkan dan memberikan solusi yang sesuai, memahami situasi yang terjadi pada anak, mereka malah menyuruh ‘diam’. Diam dari tangisan, diam dari rengekan, atau diam saat menginterupsi Ayahnya atau Ibunya berbicara. Bahkan menyuruh diam diiringi dengan bentakan.