BARISAN.CO – Presiden Jokowi meminta porsi kredit UMKM ditingkatkan menjadi 30 persen dan Plafon KUR tanpa jaminan menjadi Rp100 juta. Hal itu segera mendapat banyak tanggapan.
“Keinginan Presiden tersebut adalah berita gembira bagi UMKM Indonesia, namun hal tersebut tidak cukup untuk memacu geliat UMKM ditengah Pandemi COVID-19”, papar Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute dalam keterangannya, Selasa (6/4).
Keinginan Presiden, menurut Hidayat, perlu dibarengi dengan penurunan suku bunga untuk UMKM dari perbankan BUMN dan sejumlah relaksasi administrasi kredit lainnya.
Hidayat melihat program stimulus UMKM dari pemerintah masih parsial karena persoalan melesunya kredit UMKM bukan karena perbankan tidak punya likuid kredit, namun karena para pelaku UMKM takut tidak mampu bayar kreditnya di tengah suku bunga UMKM masih terbilang tinggi.
“Suku Bunga KUR 6 persen efektif pertahun masih terbilang tinggi di tengah suku bunga kebijakan BI7DR sudah turun di level 3,5 persen”. Kata Hidayat.
Ada kuota KUR yang membatasi para pelaku UMKM. Bila kuota KUR Habis, UMKM harus ikut suku bunga ritel yang besarnya masih berkisar 9.7 sd 10.1 persen.
“Stimulus untuk UMKM masih parsial. Saya kira stimulus untuk UMKM harus didesain komprehensif. Salah satu akar masalah lesunya kredit karena pelaku usaha dan UMKM melihat suku bunga masih tinggi dan penjualan belum membaik.” tambah Hidayat.
Bank-bank yang terhimpun milik negara (Himbara) sudah menurunkan suku bunga kreditnya, begitu juga beberapa bank swasta seperti BCA. Namun ekosistem perbankan nasional masih termasuk ekosistem berbunga tinggi dibandingkan dengan Bank cabang asing yang ada di Indonesia.
Berdasarkan Asesmen BI Februari 2021, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) bank cabang asing sebesar 6,17 persen paling rendah dibandingkan bank plat merah putih seperti Himbara 10,79 persen, BPD 9.80 persen dan Bank Swasta Nasional 9,67 persen.
Mayoritas UMKM belum Bankable
Masalah lain adalah UMKM mayoritas belum bankable, belum punya pencatatan keuangan, belum punya izin usaha, dan mereka feasible tapi tak mampu memenuhi syarat perbankan. Dampaknya adalah pelaku UMKM tergoda dalam aplikasi teknologi finansial (tekfin) peer to peer lending berbunga tinggi karena persyaratan fintek tersebut mudah.
Namun karena berbunga tinggi, tidak jarang pelaku UMKM akhirnya harus gulung tikar karena aset UMKM mereka diambil paksa oleh debt collector dari aplikasi tekfin tersebut. Ini yang harus juga diperhatian Pemerintah.
Bila pemerintah hanya parsial menyelesaikan persoalan UMKM maka tambahan anggaran subsidi bunga KUR 2021 sampai Juni sebesar Rp7,6 triliun akan menuai kekecewaan.
Alih-alih menyelesaikan masalah, justru itu tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi dari sektor UMKM seperti yang diharapkan. Bantuan tersebut tidak komprehensif. Jumlahnya terlalu sedikit. Datangnya rada terlambat.
“Oleh karena itu, Pemerintah harus memperbaiki kebijakannya, tidak hanya meningkatkan porsi kredit 30 persen untuk UMKM, menambah plafon KUR menjadi Rp100 juta namun pemerintah harus berani menyakinkan perbankan untuk menurunkan suku bunga dan relaksasi administrasi kredit UMKM sepanjang tahun 2021 ini,” pungkas Hidayat. []