Scroll untuk baca artikel
Blog

Sejarah TMII, Proyek Ambisius Tien Soeharto yang Kini Diambil Alih Pemerintah

Redaksi
×

Sejarah TMII, Proyek Ambisius Tien Soeharto yang Kini Diambil Alih Pemerintah

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Yayasan Harapan Kita sebagai pengelola Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII) diminta pemerintah menyerahkan laporan pengelolaan kepada Kementerian Sekretariat Negara. Kewajiban tersebut tertera dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan TMII.

Dalam aturan itu, pemerintah mengambil alih pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita yang didirikan oleh mendiang istri Presiden ke-2 RI Soeharto, Tien Soeharto.

Peraturan Presiden tersebut pada 31 Maret dan berlaku terhitung 1 April 2021. Dengan berlakunya aturan tersebut, Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1977, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

“Yayasan ini (Harapan Kita) sudah hampir 44 tahun mengelola milik negara ini, dan kami berkewajiban melakukan penataan, memberi manfaat luas ke masyarakat dan memberi kontribusi terhadap keuangan negara,” kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Rabu (7/4/2021).

Pihaknya pun memberi waktu masa transisi selama kurang lebih tiga bulan kepada yayasan itu untuk menyerahkan berbagai laporan terkait pengelolaan TMII selama ini.

“Intinya, penguasaan dan pengelolaan TMII dilakukan oleh Kemensesneg dan berarti berhenti pula pengelolaan yang selama ini dilakukan oleh Yayasan Harapan Kita,” kata dia.

Pratikno menjelaskan, dalam pengambilalihan tersebut pihaknya akan membentuk tim transisi sebagai pengelola pengganti dari Yayasan Harapan Kita. Tim ini terdiri dari berbagai Kementerian dan Lembaga, juga pihak LSM.

Ia memastikan para pekerja dan staf yang telah bekerja di TMII akan bekerja seperti biasa selama masa transisi ini. Jam operasional kawasan TMII pun tak akan mengalami perubahan.

Sejarah TMII

TMII merupakan salah satu lokasi wisata favorit di Jakarta. Ratusan ribu orang mengunjungi TMII pada hari raya Lebaran 2018. Jumlah pengunjung turun pada hari-hari biasa, tapi akan meningkat lagi memasuki akhir pekan dan libur panjang. Mereka menjejaki Indonesia mini di lokasi ini. Aneka wujud kebudayaan dari 34 provinsi Indonesia tersaji di sini.

Menurut Pemberton dalam The Heritage Theatre: Globalisation and Cultural Heritage (2011), yang dinukil Halbertsma, Siti Hartinah atau biasa dipanggil Ibu Tien Soeharto, memperoleh gagasan itu setelah berkunjung ke Thai-in-Miniature di Thailand dan Disneyland di Amerika Serikat.

Menurut Suradi H.P. dkk., dalam Sejarah Taman Mini Indonesia Indah, paska kunjungan tersebut, Tien Soeharto menginginkan agar di Indonesia terdapat suatu objek wisata yang mampu menggambarkan kebesaran dan keindahan tanah air Indonesia dalam bentuk mini di atas sebidang tanah yang cukup luas.

Meski berlabel ‘mini’, pembangunan MII memerlukan biaya besar. Kira-kira Rp10,5 miliar. Karena itu, YHK memerlukan bantuan selain Pemda Jakarta. Tien mengakui hal tersebut di hadapan gubernur se-Indonesia di Istana Negara pada 30 Januari 1971.

Tien Soeharto berbicara di depan para istri gubernur dari seluruh provinsi di Indonesia. Forum ini terselenggara atas permintaan Tien sendiri dan tentu saja direstui suaminya.

Kepada mereka, Tien meminta dukungan. Para istri diimbau untuk melobi suami mereka agar berpartisipasi dalam proyek miniatur Indonesia, antara lain dengan membangun rumah-rumah adat khas daerah masing-masing, menyajikan pelbagai hasil kerajinan daerah hingga urun dana.

Dana yang dibutuhkan untuk proyek tersebut berkisar antara 100 juta hingga 300 juta dolar AS (dengan kurs sekitar Rp200 saat itu), meskipun sudah dibantah oleh Tien yang “hanya” menyebut angka Rp10 miliar.

Dana sebesar itu membuat sejumlah pejabat atau politikus lain kesal. Soeharto tega merogoh uang negara hanya untuk memenuhi hasrat istrinya. Itu pemborosan ketika negara masih memiliki kebutuhan lain yang jauh lebih mendesak untuk dibiayai.