Sejak awal persiapan sekitar dua bulan, tim panitia hanya beranggotakan sebelas orang. Panitia sangat menyadari bahwa acara tidak mudah diselenggarakan. Perhelatan nasional ini diincar digagalkan karena menyangkut kondisi politik yang serius.
Dengan kerja sama yang solid dari panitia, Kongres bisa diselenggarakan. Dari tiga lokasi yang disiapkan melalui beberapa skenario, akhirnya dipilih dusun Kemorosari, Piyaman, daerah Wonosari, yang belum memiliki penerangan listrik. Kongres diikuti oleh sekitar 100 orang dari berbagai wilayah, selama sepekan.
Peristiwa ini mencatatkan utang budi HMI yang luar biasa besar pada pak Salikin (meninggal tahun 2016) kepala dusun beserta warganya. Rumah almarhum dipakai sebagai lokasi dan segala urusan akomodasi dan konsumsi diurus oleh warganya. Tim panitia hanya membantu sebisanya.
Acara berlangsung lancar, meski bersuasana berbeda dari Kongres HMI di gedung pertemuan, wisma ataupun hotel. Laporan pertanggungjawaban kepengurusan Egie Sudjana diterima. Tamsil Linrung terpilih sebagai ketua umum yang baru.
Namun, setelah Egie mengadakan jumpa pers di Yogyakarta tentang hasil kongres, maka aparat melakukan beberapa tindakan. Warga dusun yang dewasa dipaksa apel seharian di lapangan, dan semua diinterogasi. Khusus pak Salikin, selama 3 bulan wajib lapor tiap hari kerja.
Sebagai tambahan informasi, rumah almarhum memang sering dipakai Basic training (Batra) dan Intermediate Training (Intra) sebelum kongres itu. Setelahnya tidak bisa lagi dipergunakan, selalu ada aparat yang rutin memeriksa. Bahkan sempat beberapa lama, ada aparat yang ditempatkan di dusun tersebut untuk mengawasi selama almarhum menjadi “tahanan kota”.
Lebih dari 27 tahun kemudian, beliau ditemui Saat (salah satu eks panitia) yang berkesempatan menyampaikan sekadar bantuan dan kenang-kenangan. Saat bercerita kepadaku dan mengutip perkataannya, “Pada waktu kalian selesai acara dan pamitan. Aku katakan aku relakan kalian pulang, berpencaran menjadi peluru-peluru perjuangan. Ketahuilah hingga kini harapan itu masih tetap aku panjatkan.”
Keluarga besar HMI yang takziyah, sempat berbincang lama dengan bu Salikin, karena almarhum telah dimakamkan. Perempuan yang ternyata juga luar biasa ini bercerita dengan nada bangga, “Bapak dipukuli sama tentara dan polisi, tapi tidak terasa, istighfar aja pokoknya.” Dilanjutkan lagi oleh beliau tentang kata-kata almarhum, “Saya bangga dengan anak-anak HMI itu. Saya tak tahu apa yang mereka kerjakan selain memberi tempat. Saya hanya tahu mereka berjuang.”