Scroll untuk baca artikel
Risalah

Kader HMI Menjadi Peluru Perjuangan, Pesan Pak Salikin

Redaksi
×

Kader HMI Menjadi Peluru Perjuangan, Pesan Pak Salikin

Sebarkan artikel ini

“Aku relakan kalian pulang, berpencaran menjadi peluru-peluru perjuangan. Ketahuilah hingga kini harapan itu masih tetap aku panjatkan”Salikin (wafat tahun 2016)

BARISAN.CO – Momen krusial sejarah Himpunan Mahasiswa Isalam (HMI) terjadi pada pertengahan tahun 1988. Saat itu, HMI telah terbelah menjadi dua akibat pemaksaan asas tunggal Pancasila untuk semua organisasi kemasyarakatan oleh rezim Soeharto. Dalam kasus HMI diperparah oleh campur tangan alumni yang memiliki kepentingan politik atau bahkan sedang menduduki jabatan politik yang tinggi.

Aktifis HMI yang tetap mempertahankan Islam sebagai asas organisasi bergabung dalam kelompok yang kemudian dikenal sebagai HMI Majelis Penyalamat organisasi (MPO). Mereka sejatinya tidak anti Pancasila dan bahkan menilai pemaksaan rezim itu bertentangan dengan nilai Pancasila yang memberi ruang perbedaan dalam mengekspresikan diri dan kelompok. HMI (MPO) bisa bertahan selama dua tahun (1986-1988) meski terus ditekan agar bubar.

Kelompok HMI (MPO) semula dibentuk sebagai alat sementara yang bersifat darurat. Dibentuk agar HMI tetap mempertahankan asasnya dalam Kongres yang akan diselenggarakan pada tahun 1986 di Padang. Namun segala upaya kandas. Mereka yang menandatangani terbentuknya MPO atau terindikasi menjadi pendukung dirintangi untuk mengikuti Kongres. Padahal mereka memiliki hak sebagai utusan cabang ataupun sebagai undangan sesuai AD/ART.   

Beberapa bulan kemudian, kelompok MPO ini mengadakan Kongres sendiri di Yogyakarta. Oleh karena keterbatasan teknis dan poltis, maka tidak dimungkinkan diselenggarakan secara terbuka. Kongres hanya diikuti oleh belasan orang itu untuk memenuhi aturan dalam AD/ART, terutama memilih Ketua Umum.

Kebetulan, aku sebagai anggota yang masih muda dan berstatus pengurus tingkat komisariat FE UGM diminta membantu aspek teknis, terutama terkait konsumsi. Kemungkinan karena pengurus HMI Cabang Yogyakarta melihat “reputasiku” dalam beberapa kepanitiaan sebelumnya.

Kongres HMI (MPO) tahun 1986 di Yogyakarta itu memilih Eggie Sudjana sebagai Ketua Umum. Beberapa keputusan Kongres sebetulnya tidak mencantumkan kata-kata MPO. Tampak ada keyakinan nantinya banyak kepengurusan cabang akan bergabung dan mengakui hasilnya sebagai Kongres yang sah dalam aturan organisasi.

Dalam dinamika selama dua tahun, keterbelahan kepengurusan HMI berlanjut. HMI (MPO) memang memiliki jumlah cabang yang jauh lebih sedikit, namun mencakup beberapa yang sangat banyak anggotanya. Diantaranya adalah cabang Yogyakarta, Jakarta, Semarang, Pourwokerto, dan Makasar.

Sesuai AD/ART, kongres harus diselenggarakan lagi pada tahun 1988. Kembali akan berlangsung di Yogyakarta. Kebetulan, aku diangkat menjadi ketua panitia kongres HMI (MPO). Namun, kali ini secara resmi dan memiliki Surat Keputusan.

Sejak awal persiapan sekitar dua bulan, tim panitia hanya beranggotakan sebelas orang. Panitia sangat menyadari bahwa acara tidak mudah diselenggarakan. Perhelatan nasional ini diincar digagalkan karena menyangkut kondisi politik yang serius. 

Dengan kerja sama yang solid dari panitia, Kongres bisa diselenggarakan. Dari tiga lokasi yang disiapkan melalui beberapa skenario, akhirnya dipilih dusun Kemorosari, Piyaman, daerah Wonosari, yang belum memiliki penerangan listrik. Kongres diikuti oleh sekitar 100 orang dari berbagai wilayah, selama sepekan.

Peristiwa ini mencatatkan utang budi HMI yang luar biasa besar pada pak Salikin (meninggal tahun 2016) kepala dusun beserta warganya. Rumah almarhum dipakai sebagai lokasi dan segala urusan akomodasi dan konsumsi diurus oleh warganya. Tim panitia hanya membantu sebisanya.

Acara berlangsung lancar, meski bersuasana berbeda dari Kongres HMI di gedung pertemuan, wisma ataupun hotel. Laporan pertanggungjawaban kepengurusan Egie Sudjana diterima. Tamsil Linrung terpilih sebagai ketua umum yang baru.