“Pengembangan intelektual murni tanpa pengembangan karakter internal yang sepadan, sama seperti menyerahkan mobil sport bertenaga tinggi ke tangan seorang remaja pecandu narkoba.” Steve Covey (Penulis)
BARISAN.CO – Tujuan dididik bukan untuk memperoleh informasi melainkan mengumpulkan pengetahuan. Motif pendidikan adalah mengubah cermin menjadi jendela. Kini, pendidikan telah bertransformasi menjadi kebutuhan dasar untuk dapat bertahan hidup.
Sayangnya, kata pendidikan telah kehilangan maknanya. Di zaman kejatuhan semua yang ada berubah menjadi negatif. Begitu pun di sektor pendidikan. Seorang anak harus diberi tahu tentang perjuangan para pahlawan bangsa, bukan karena demi mencetak nilai tertinggi di sekolah. Akan tetapi, untuk mengenal sejarah bangsanya sendiri.
Kini, sudah menjadi hal lumrah merasa sombong tentang pencapaian diri, meski pun itu sebanarnya bukan sesuatu yang harus dibanggakan. Misalnya saja soal lulusan perguruan tinggi dengan titel A-Z.
Orang berpendidikan dengan gelar merasa lebih unggul dari orang lain dan mencoba memuntahkan semua yang dipelajari di depan orang lain untuk menunjukkan kesombongannya. Padahal, bukan berarti yang mereka tidak tamat SMA, tidak tahu apa-apa. Bisa jadi, wawasannya lebih luas daripada yang kita bayangkan.
Rata-rata orang saat ini juga dapat mempelajari segala sesuatu dari internet. Di sisi lain, orang-orang tua dengan gelar master mungkin bahkan kesulitan memanfaatkan teknologi.
Di Jepang, tidak ada silabus khusus yang diajarkan di sekolah dasar. Mereka sejak dini diajarkan tata krama, sopan santun, dan bersikap rendah hati kepada orang yang lebih tua. Di negara ini, ujian tidak begitu penting. Pembelajaran karakter justru menempati daftar teratas.
Begitu juga dengan yang terjadi di Korea Selatan. Di sana terdapat untaian kurikulum pendidikan moral atau mata pelajaran tertentu. Mengutip Social Studies, sejak kelas 1 hingga kelas 10, siswa diwajibkan mempelajari Right Life and Moral Education. Implementasinya melalui penerbitan buku teks pendidikan moral oleh pemerintah.
Sejarah pendidikan moral di Negeri Gingseng sudah berjalan lebih dari 5.000 tahun. Umumnya, melibatkan peniruan kebajikan dan perilaku panutan, mendengarkan cerita, dan mempraktikkan disiplin diri yang tulus. Guru di Korea Selatan menggunakan dua pengajaran utama, yakni sosialisasi moral dan diskusi moral. Pendekatan yang digunakan bisa menekankan pada kebiasaan moral dasar, sopan santun, dan praktik moral melalui mendongeng dan memberi teladan yang baik bagi muridnya.