Oleh: Anthony Budiawan
(Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS))
Barisan.co – Kartu Prakerja mungkin kartu termahal di dunia. Bisa menghabiskan anggaran Rp 5,6 triliun. Bukan uang siapa-siapa, tapi uang negara. Dihabiskan melalui pencari kerja. Uangnya cuma numpang lewat saja, terus dialihkan ke mitra pelaksana pelatihan online, atau Platform Digital. Modusnya hebat. Canggih. Tapi terlalu nyata. Dan agak kotor.
Tujuan Kartu Prakerja terlihat mulia. Ya memang harus begitu. Kalau tidak, mana bisa berjalan lancar. Program Kartu Prakerja memberi bantuan meningkatkan kompetensi para pencari kerja. Kedengarannya membanggakan.
Pelatihan diikuti secara online. Diselenggarakan oleh mitra Platform Digital yang jumlahnya ada 8. Mereka ketiban rejeki. Atau alat membagi-bagi rejeki? Karena Mitra Platform Digital ditunjuk pemerintah. Apakah penunjukan langsung ini dapat dibenarkan? Banyak pihak mengatakan seharusnya tidak. Tapi sepertinya dibuat sah saja.
Kartu Prakerja berpotensi cacat hukum. Karena penerbitan Kartu Prakerja hanya berdasarkan Peraturan Presiden: No 36 tahun 2020 (tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Kerja), diterbitkan pada 26 Februari 2020.
Peraturan presiden adalah peraturan sebagai pelaksana undang-undang. Artinya, uraian teknis pelaksanaan undang-undang. Oleh karena itu, peraturan presiden selalu mengacu pada satu atau lebih undang-undang. Sebagai uraian teknis pelaksanaan undang-undang tersebut.
Karena, menurut konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI), DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI). Oleh karena itu, undang-undang yang dibentuk tanpa melewati persetujuan DPR seharusnya melanggar konstitusi, dan tentu saja tidak sah. Oleh karena itu, peraturan presiden yang dibuat tanpa mengacu ke sebuah undang-undang seharusnya juga tidak sah, dan melanggar konstitusi. Kalau ini dibolehkan, maka presiden bisa membuat 1000 peraturan presiden tanpa melibatkan DPR. Yang mana membuat fungsi DPR menjadi tidak berarti. Yang dapat diartikan melanggar konstitusi.
Oleh karena itu, Peraturan Presiden No 36 tahun 2020 yang tidak mengacu ke sebuah undang-undang terindikasi cacat hukum, dan batal demi hukum.
Selain itu, Perpres juga bikin kening berkerut. Penuh kontradiksi. Pasal 5 ayat (3) mengatakan pelatihan dapat diselenggarakan secara daring (dalam jaringan atau online) atau luring (luar jaringan atau offline alias tatap muka). Tapi Pasal 6 ayat (2) huruf a mengatakan lembaga pelatihan harus memiliki kerja sama dengan Platform Digital. Loh, artinya kan pelatihan harus dilaksanakan secara online? Dan ini bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) yang katanya juga bisa diselengrarakan luring? Pasal 11 ayat (3) memperkuat bahwa pelatihan hanya bisa diikuti secara online: Penerima Kartu Prakerja … memilih jenis Pelatihan yang akan diikuti melalui Platform Digital. Jelas keduanya berlawan dengan Pasal 5 ayat (3).
Yang lebih mengherankan, kerja sama dengan Platform Digital tersebut harus disetujui Manajemen Pelaksana (Kartu Pra Kerja), yang tidak lain bagian dari pemerintah di bawah Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Lah ini apa-apaan? Kenapa harus ada persetujuan pemerintah untuk kerjasama swasta (Platform Digital) dengan swasta (Lembaga Pelatihan). Persetujuan ini menunjukkan peran pemerintah sebagai kekuasaan absolut dalam pelatihan online Kartu Prakerja ini. Menunjuk Platform dan menyetujui Lembaga Pelatihan.
Singkatnya, Kartu Prakerja bisa digambarkan seperti berikut. Bagaikan sutradara, pemerintah mengatur semua skenario. Pemerintah mengalokasikan anggaran Kartu Prakerja, katakan saja Rp 5,6 triliun. Anggaran ini cuma numpang lewat saja, melalui Kartu Prakerja ke penyelenggara pelatihan online: Platform Digital dan Lembaga Pelatihan, yang keduanya harus mendapat restu dan persetujuan pemerintah. Skenario ini juga terindikasi menyalahi peraturan pengadaan. Dalam hal ini, sudah ditentukan siapa peneriman anggaran. Kartu Prakerja secara substansi bukan penerima anggaran. Cuma numpang lewat saja.