KASUS yang membelit pengacara ‘papan atas’ Ruhut Sitompul bukti yang maujud bahwa pembelahan di masyarakat itu nyata dan sangat destruktif. Seorang elite, kader partai pemenang pemilu dan lawyer, bukan jaminan seseorang menjadi bijak.
Karena dampaknya tidak sederhana justru selain memperuncing permasalahan sehingga nirmanfaat juga secara langsung dipastikan merugikan partai yang menjadi naungannya selama ini. Ya, PDIP sedikit banyak secara persepsi dan popularitas bisa terganggu.
Sekaliber Ruhut, sejatinya tidak terjebak pada kebencian personal dan membawa rasisme ke ranah publik. Selama ini dalam setiap pernyataan dan juga unggahannya di media sosial Ruhut dominan menulis sebutan dan kata “kadrun” bersamaan dengan kata “merdeka”. Dua kata yang berlawanan. Karena seharusnya ketika berteriak merdeka tidak ada kata penghinaan atau minimal pelabelan.
Ungkapan atau ekspresi rasisme Ruhut kepada Anies Baswedan atau oposisi selama ini rupanya tidak direspons. Alasannya mungkin ucapan Ruhut tidak penting dan tidak bernilai. Apalagi dalam sejarah politik sikap menjilat dan kutu loncat sudah menjadi trademark-nya. Bagaimana dia misalnya memuji Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), almarhum Ibu Ani Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ketika menjadi kader Partai Demokrat, pun bagitu juga memuji tak habis-habisnya kepada Jokowi belakangan ini.
Ya, sepandai-pandainya berkilah dan berkelit nyali Ruhut sepertinya kali ini harus diuji juga. Ruhut tiba-tiba yang tadinya garang dan selalu bangga sebagai pengacara ‘papan atas’ ciut nyali ketika unggahan meme Anies justru mendapat respons dari warga Papua.
Andaikan saja Anies memakai kutang atau atau pakai daster mungkin tak akan menjadi masalah dan ribut seantero Indonesia. Gambar atau meme Anies memakai pakai adat Suku Dani berikut koteknya, menjadi pilihan Ruhut untuk diunggah di akun media sosialnya, justru balik memukul sendiri.
Keributan pun dan bisa dihindari. Ruhut bukannya bungah dan Anies terpojok justru kini si Poltak, sebutan populernya, tak lama lagi akan menjadi pesakitan. Warga Papua justru yang marah karena budaya leluhurnya yang menjadi kearifan lokal, merasa dilecehkan.
Si Poltak sudah diadukan ke Polda Metro Jaya dan kepolisian berjanji akan segera memanggil pelapor dan terlapor. Pernyataan minta maaf yang mengambang dari Ruhut, sepertinya bukan menjadi alasan untuk mengabaikan kasus yang menarik perhatian publik tersebut. Entah kepada siapa Ruhut meminta maaf karena tak diarahkan kepada Anies atau warga Papua.