BARISAN.CO – Kebebasan sipil terus mendapat pengekangan dari negara. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang disosialisasi pemerintah, masih memuat pasal tentang penghinaan presiden, wakil presiden, dan lembaga negara.
Ancaman pidana dari penghinaan ini cukup besar, yakni maksimal 3,5 tahun penjara. Jika kemudian pasal ini lolos di tataran legislatif, artinya, suara kritis yang berseberangan dengan kekuasaan bakal terkikis dan pelahan-lahan terbungkam.
Tidak hanya itu, pemerintah pun sedang mengusulkan penambahan pasal baru dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yakni 45C. Pasal itu mengatur pidana terhadap pemberitaan bohong dan penyiaran kabar tak pasti yang menimbulkan keonaran.
Dua dokumen babon ini disinyalir akan semakin mengangkangi segala bentuk kebebasan berpendapat dan kritik kepada penguasa. Padahal, dua hal ini adalah syarat utama dalam menjalankan demokrasi.
Persoalan intervensi negara ke civil society demikian ini juga akan membawa dampak serius. Namun sengkarut tak berhenti pada dua dokumen yang sedang ramai dikritik itu.
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengatakan, praktik otoriter pemerintah bahkan telah merambah ke soal politisasi ilmu pengetahuan dan ancaman terhadap kebebasan akademik.
“Indonesia menunjukkan praktik otoriter yang sebelumnya tidak pernah terjadi, bahkan tidak juga di negara lain yang mengalami kemunduran demokrasi seperti Singapura atau Amerika,” kata Wijayanto dalam webinar LP3ES, Rabu (9/6/2021).
Praktik ini tercermin dari banyak kasus. Pertama, dari pembentukan BRIN yang meleburkan empat lembaga riset nasional seperti: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN).
Peleburan ini, menurut Wijayanto, patut disayangkan sebab diinisiasi atau diarahkan oleh salah satu ketua partai politik.
Wijayanto juga menyinggung politisasi ilmu pengetahuan di mana ada gelagat obral gelar honoris causa oleh kampus-kampus yang berada di bawah pengelolaan pemerintah. Seperti terjadi baru-baru ini, misalnya, ketika Megawati Soekarnoputri mendapat gelar professor honoris causa dari Universitas Pertahanan.
Selain itu, kasus politisasi juga dirasakan pelajar dan mahasiswa yang memperoleh represi ketika terlibat dalam aksi demonstrasi. Hal ini ditemukan melalui banyaknya mahasiswa dan pelajar yang mengalami berbagai jenis tekanan, baik secara digital maupun secara offline.
Di sisi lain, Wijayanto juga mengatakan akan adanya dosen yang dihadang oleh persyaratan birokratis yang rumit, serta pendanaan yang minim.
“Praktik otoriter yang menekan berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebebasan akademik ini menunjukkan bagaimana seriusnya pemerintah atau dalam hal ini elite penguasa untuk memperlebar cakupan konsolidasinya,” kata Wijayanto.
Tetapi, tidak berhenti di situ, upaya juga diikuti oleh nuansa anti-science yang tercermin dari kebijakan pemerintah dan respons mereka terhadap berbagai hal, seperti pandemi dan bencana antropogenik yang semakin marak terjadi.
Fadhil Hasan, Direktur Corporate Affairs di Asian Agri Group, dalam kesempatan yang sama pun mempertegas gagasan Wijayanto dengan memaparkan hubungan antara demokrasi, korupsi, dan dampaknya dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Fadhil Hasan menjelaskan empat penyebab dari kemunduran demokrasi yang kini terjadi di Indonesia. Pertama, terkait dengan upaya untuk meningkatkan efektivitas pemerintah terutama di masa sulit akibat Pandemi Covid-19.