Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Kebijakan Fiskal 2022 Belum Dukung Pemulihan Ekonomi Hijau

Redaksi
×

Kebijakan Fiskal 2022 Belum Dukung Pemulihan Ekonomi Hijau

Sebarkan artikel ini

“Pembangunan rendah karbon (PRK) ini penting dipertegas untuk mendapatkan dukungan fiskal yang memadai dari APBN 2022, dalam rangka mencegah krisis iklim ke depan. Apalagi, pemerintah sendiri sudah menetapkan target penurunan emisi karbon tahun 2022 sebesar 26,8% – 27,1%, sebuah target yang rendah tentunya.” Kata Aldi.

Sejalan dengan Aldi, Direktur Eksekutif Rumah Indonesia Berkelanjutan (RIB) Dr. Cand. Yusdi Usman, mengatakan bahwa Indonesia sudah menetapkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang tercantum dalam NDC (Nationally Determined Contributions) sebesar 29% dengan kekuatan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Yusdi khawatir bahwa jika kebijakan fiskal pemerintah cenderung lemah dalam mendukung transformasi ekonomi hijau (green economy), maka target NDC tahun 2030 akan sulit dicapai.

Apalagi, kebutuhan dana untuk mencapai NDC ini tidak kecil. Menurut Yusdi, mengacu pada kebutuhan dana untuk mencapai target NDC yang terdapat dalam Second Biennial Update Report (BUR-2) yang dikeluarkan pemerintah, kebutuhan dana untuk mencapai target NDC adalah sebesar Rp. 3.461 Triliun sampai tahun 2030 atau Rp. 266,2 Triliun per tahun (2018-2030).

Yusdi juga mengingatkan adanya kebutuhan Indonesia untuk transformasi menuju netral karbon (net zero emission) tahun 2050.

“Jika pemerintah tidak mempersiapkan berbagai strategi, termasuk kebijakan fiskal untuk mendukung ekonomi hijau ini, maka upaya penanganan dan pencegahan krisis iklim tahun 2030 dan 2050 tidak akan terwujud.” Kata Yusdi Usman.

Skema Fiskal Harus Mendukung Ekonomi Hijau

Sementara itu, Misbah Hasan menyarankan kepada pemerintah untuk mengarahkan semua skema fiskal dalam rangka memperkuat ekonomi hijau.

Misbah menambahkan bahwa sejumlah skema fiskal yang bisa digunakan untuk transformasi ekonomi hijau termasuk melalui: (1) skema perpajakan berupa tax allowance, tax holiday, pembebasan bea masuk impor, dan sebagainya; (2) kebijakan belanja negara di mana Kementerian Keuangan sudah menggunakan pendekatan climate budget tagging di pusat dan daerah; dan (3) kebijakan pembiayaan anggaran dalam APBN.

“Transformasi ekonomi hijau perlu didukung oleh semua skema kebijakan fiskal tersebut. Skema yang lebih rumit prosesnya adalah pembiayaan anggaran dalam APBN karena membutuhkan proses teknokrasi dan politik anggaran di DPR RI.” Kata Misbah Hasan.

“Karena itu, kalau proses perencanaan di Bappenas yang tercantum dalam RKP 2022 tidak didukung oleh kebijakan fiskal yang dirumuskan oleh Kementerian Keuangan, maka ada kemungkinan semua yang direncanakan oleh Bappenas untuk transformasi ekonomi hijau akan menguap dalam proses di Kementerian Keuangan dan proses politik di DPR RI.” Lanjutnya.

Di sisi lain, dalam kaitannya dengan kebijakan fiskal Kementerian Keuangan sinkron dan mendukung perencanaan yang ada dalam RKP 2022, Yusdi Usman setuju bahwa Bappenas harus memastikan major project dalam prioritas nasional yang akan dibiayai oleh APBN harus berjalan.

Dua major project ekonomi hijau dalam RKP 2022 ini adalah (1) pembangunan PLTS Atap di gedung Kementerian/Lembaga dan (2) penerapan konservasi energi pada gedung/bangunan dan sarana konservasi. Sedangkan untuk sektor lainnya, termasuk sektor pertanian, persampahan, dan lahan, belum terakomodasikan dalam RKP 2022.

Namun demikian, Yusdi menyayangkan bahwa alokasi anggaran prioritas nasional yang diusulkan oleh Bappenas untuk mendukung pencegahan bencana iklim sangat kecil, yakni hanya Rp9,6 Triliun.

“Ini memperlihatkan bahwa keseriusan pemerintah untuk mendukung transformasi ekonomi hijau dan pencegahan krisis iklim masih sangat lemah”, tegas Yusdi.