Scroll untuk baca artikel
Gaya Hidup

Kedaulatan Digital dalam Ancaman: Indonesia dan Bahaya Ekspor Data Pribadi ke Amerika

×

Kedaulatan Digital dalam Ancaman: Indonesia dan Bahaya Ekspor Data Pribadi ke Amerika

Sebarkan artikel ini
Kedaulatan Digital
Ilustrasi

Amerika Serikat tercatat sebagai negara dengan biaya pelanggaran data tertinggi di dunia, rata-rata mencapai $9,44 juta (sekitar Rp152 miliar) per insiden.

BARISAN.CO – Di era digital saat ini, data pribadi menjadi komoditas yang sangat berharga. Seperti halnya minyak dan emas di masa lalu, kini data menjadi “harta karun” baru yang diperebutkan oleh berbagai pihak.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat bahkan mengalami kerugian yang sangat besar saat terjadi pelanggaran data.

Berdasarkan laporan terbaru dari SQ Magazine, Amerika Serikat menempati peringkat pertama dengan biaya pelanggaran data tertinggi di dunia, yakni $9,44 juta atau setara dengan Rp154 miliar (kurs Rp16.300 per dolar AS). Angka ini menggambarkan betapa mahalnya konsekuensi dari kebocoran data.

Namun, di balik data tersebut, ada satu kenyataan yang kerap luput dari perhatian publik Indonesia: banyak data pribadi warga Indonesia justru disimpan, diproses, dan bahkan dikirim ke luar negeri, termasuk ke Amerika Serikat, tanpa pengawasan ketat.

Praktik ini dikenal sebagai data transfer atau ekspor data digital. Jika tidak diatur dengan baik, hal ini bisa menjadi ancaman serius bagi kedaulatan digital Indonesia.

Mengapa Ekspor Data ke Amerika Bisa Berbahaya?
Pertama, karena regulasi perlindungan data di Indonesia belum seketat Amerika atau Eropa. Meskipun UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah disahkan, implementasi dan penegakannya masih sangat lemah.

Sementara itu, perusahaan asing yang menyimpan data warga Indonesia bisa saja memanfaatkannya untuk kepentingan komersial, politik, bahkan intelijen. Jika terjadi pelanggaran, kecil kemungkinan pengguna Indonesia mendapatkan ganti rugi setimpal.

Kedua, saat data warga Indonesia berada di luar negeri, pemerintah Indonesia kehilangan kendali dan kedaulatannya.

Ini bisa disamakan dengan menyerahkan catatan kependudukan, rekam jejak digital, hingga perilaku konsumsi masyarakat ke pihak asing. Dalam konteks geopolitik, ini ibarat memberi celah pada negara lain untuk memahami kelemahan internal kita.

Ketiga, biaya pelanggaran data yang tinggi di Amerika justru menjadi insentif bagi pelaku pasar gelap data untuk mencari sumber data yang lebih “mudah” seperti dari negara berkembang yang pengaturannya lemah.

Indonesia menjadi target empuk. Apalagi dengan populasi besar dan pengguna internet aktif lebih dari 210 juta orang, potensi komersialisasi data Indonesia sangat besar.

Kedaulatan digital bukan sekadar jargon teknologi. Ia adalah bagian dari kedaulatan nasional. Sama seperti kita melindungi wilayah udara dan perbatasan darat, kita juga harus melindungi data pribadi rakyat kita agar tidak dimanfaatkan pihak luar tanpa izin.