PEMERINTAH mengklaim Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah dikelola secara baik. Belanja dianggap telah cukup efisien dan efektif mencerminkan pelaksanaan tugas dan kewajiban pemerintah yang berjalan baik. Sementara pengkritik terutama menyoroti posisi dan beban utang yang meningkat sangat pesat, yang mencerminkan APBN dikelola secara buruk.
Pengelolaan APBN merupakan bagian dari Keuangan negara. Kekuasaan pengelolaan keuangan negara dipegang oleh Presiden sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Presiden menguasakannya kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan kepada Menteri dan pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran.
APBN secara teknis merupakan dokumen rencana anggaran yang melalui serangkaian proses. Tahap penyusunan, penetapan, pelaksanaan, pelaporan dan pemeriksaan. Penyusunan dimulai setahun sebelumnya, dan telah melibatkan pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penetapan APBN dalam bentuk Undang-Undang, yang artinya melalui pembahasan bersama dengan seluruh anggota DPR. Pada tahap pelaporan dan pemeriksaan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan hasilnya pun kembali ditetapkan oleh DPR dalam bentuk Undang-Undang.
Sebagian dokumen pokok dalam keseluruhan tahap merupakan dokumen publik. Harus diumumkan terbuka dan seluruh rakyat berhak mengetahuinya. Misalnya Nota Keuangan dan RAPBN, Nota Keuangan dan APBN, serta Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Pengelolaan APBN secara konseptual merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Namun dalam rincian penjelasan dari Nota Keuangan, tampak bahwa terkandung soalan kebijakan sektor riil. Diantaranya aspek sektoral dan layanan publik.
Sebagai bagian dari kebijakan fiskal, APBN memiliki tiga fungsi utama. Fungsi alokasi artinya untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi artinya memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi merupakan alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Penjelasan Pemerintah tentang APBN tiap tahun biasanya mengemukakan apa yang disebut dengan istilah postur. Cara umum pengamat menganalisis pun sering fokus pada perkembangan postur APBN. Postur merupakan gambaran umum besaran APBN yang disajikan dalam lima kelompok, yaitu: Pendapatan, Belanja, Keseimbangan Primer, Surplus atau Defisit, dan Pembiayaan.
Informasi Pemerintah kepada publik luas lebih sering pada kelompok Belanja. Kadang ditambah kelompok pembiayaan yang bersifat pengeluaran seperti investasi. Disajikan besaran angka untuk nilai total ataupun subkelompok. Dinarasikan pula berdasar tematik seperti anggaran infrastruktur, anggaran kesehatan, anggaran perlindungan sosial, dan lainnya.
Biasanya dikedepankan tingkat kenaikan dibanding tahun sebelumnya. Baik dalam hal nilai total dan terutama untuk subkelompok atau anggaran tematik tertentu. Sebagian besar dianggap dianggap mengalami perbaikan jika nilainya bertambah. Tentu saja ada pengecualian, seperti pembayaran bunga utang.
Pengamat ekonomi pun cenderung memakai perspektif serupa. Hanya saja, pengamat yang kritis mengemukakan bagian yang tidak disoroti penjelasan Pemerintah antara lain karena kenaikannya rendah atau bahkan menurun. Mereka juga mengkritisi porsi subkelompok atau tematik yang kadang berujung pada mempertanyakan prioritas anggaran.
Perspektif atau cara analisis demikian sebenarnya kurang tepat, bahkan berpotensi mengandung kekeliruan. Fokus perhatiannya lebih kepada input atau apa yang digunakan dalam menghasilkan output. Input disajikan sebagai besaran biaya.