BARISAN.CO – Anak muda sekarang sungguh kreatif. Bayangkan saja untuk menyebut suasana hati yang mudah tersinggung, mudah tersentuh, mudah hanyut, mereka cukup dengan melahirkan satu kata : baper!
Mari bercerita tentang baper.
Ini cerita sebuah negeri yang mewajibkan semua penghuninya memiliki kepekaan rasa. Maka lahirlah undang-undang baper.
Setelah UU disahkan, maka menyusul peristiwa-peristiwa seru. Menghilangnya minyak goreng setelah pemerintahnya menetapkan harga rendah.
Tentu saja penetapan itu diimbangi dengan pemberian subsidi kepada produsennya. Sang produsen memang istimewa.
Dari hulu mereka menggunakan jutaan hektar tanah negara untuk kebun sawit. Ketika sukses diolah mereka bisa menjualnya sesuka hati kepada warga negara yang notabene sebenarnya pemilik lahan.
Peristiwa berikutnya adalah naiknya harga bahan bakar minyak tertentu. Kenaikan ini diimbangi dengan kebijakan bahwa mulai pukul 22.00 bahan bakar minyak yang lebih murah tak boleh dijual.
Maka, warga negeri itu kemudian gaduh. Di grup-grup WA nyaris demen membahas masalah ini.
“Nah, karena dulu pernah nangis-nangis saat BBM naik, sekarang kita tetap harus mendukung beliau,” kata salah satu anggota grup WA.
“Iya benar. Mengapa harus pusing? Sebagai partai terbesar, peduli wong cilik, tentu saja sudah dipertimbangkan dampaknya,” yang lain menimpali.
“Apalagi ajakan untuk merebus, mengukus dan sejenisnya, tentu itu sangat ma’rifat dalam hidupnya,” lagi-lagi ada komentar.
Begitulah, grup-grup WA nyaris semua mendukung fenomena itu.
Di sebuah grup WA DPRD provinsi, tiba-tiba ada yang sok pahlawan. Anggota DPRD dari Partai Dhemit itu tiba-tiba mempertanyakan konsistensi pemerintah saat menjelang pemilu dan sesudahnya.
“Bar Kemis dina Jemuah. Mbiyen nangis saiki bungah,” komentarnya simpel.
Tak dinyana komentar itu ditanggapi dengan UU Baper. Anggota DPRD Provinsi yang jumlahnya paling banyak kemudian memutuskan menggunakan pasal 378 UU Baper.
“Barangsiapa berucap, berkomentar yang membuat orang lain tersinggung karena otomatis mengkritisi pemerintah, dilarang ikut kenduri.” Demikian bunyi pasal itu.
Maka, grup WA DPRD provinsi itu menjadi gaduh lagi. Anggota dari Partai Ngasu yang jumlahnya mayoritas ramai-ramai keluar grup.
Mereka takut tak mendapat nasi berkat saat ada kenduri. Yang paling ditakutkan adalah karena melanggar UU Baper.
Sementara itu, di level warga negara, tak ada seorangpun yang mengeluh. Semua sepakat bahwa kegiatan harus dibatasi dengan alasan Covid 19. Semua juga sepakat bahwa harga-harga kebutuhan pokok harus naik hingga 7000%.
“Kita ini hidup di negara kaya. Apa sampeyan nggak bosan menjadi orang kaya dan pengin melarat?” kata seorang pemulung kepada gelandangan di sebelahnya.
Jadilah negeri itu berusaha untuk membuat warganya miskin dengan berbagai cara. Hanya para pengurus negeri saja yang bisa kaya.
Semua sepakat dengan itu. Ada yang kemudian terjebak pinjaman online, rentenir agar bisa miskin. Ada yang menjual aset-aset mereka untuk membeli bahan kebutuhan pokok, semua menyatu dalam visi “Banggalah jadi warga miskin.”
Ini hanya cerita saja. Semoga tak ada yang tersinggung atau menyikapi berlebihan, sebab negara kita tak ada UU Baper, dan sangat berkeadilan.
Selamat menyambut puasa Ramadan.