Scroll untuk baca artikel
Terkini

Kementan Sosialisasikan Kartu Tani: Ribet dan Kurang Solutip

Redaksi
×

Kementan Sosialisasikan Kartu Tani: Ribet dan Kurang Solutip

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Tahun 2017-2020, Kartu Tani sempat mandek. Namun kini digaungkan kembali oleh Kementerian Pertanian untuk transaksi nontunai membeli dan menerima pupuk subsidi pemerintah mulai 1 September lalu. Kartu Tani ini menjadi syarat mutlak bagi petani untuk mendapatkan alokasi pupuk subsidi.

Kementan yakin bahwasanya distribusi pupuk akan tepat sasaran. Namun menurut ahli pertanian UNS Ir. Rofandi Hartanto, jalur distribusi masih menjadi masalah pupuk bersubsidi.

“Kendala lainnya itu adalah transportasi dan disparitas harga dengan pupuk nonsubsidi. Sehingga kadang jatah di satu daerah tidak sampai, atau bahkan jatuh ke daerah lain. Perlu adanya pengaturan perdagangan agar adanya sanksi tegas bagi pihak yang menyebabkan distribusi macet maupun tidak sampai. Jadi, saya ragu akan keberhasilan pupuk subsidi yang didistribusikan melalui kartu tani ini. Karena kemungkinan adanya kendala yang sama nantinya,” kata Rofandi saat dihubungi Barisan.co, Kamis (1/10).

Rofandi menambahkan yang dibutuhkan oleh petani adalah kemudahan dalam sarana produksi. Pupuk juga termasuk di dalamnya.

“Bagi petani dari semuanya itu sebenarnya adalah kepastian pasar. Sehingga petani dapat secara pasti melakukan perencanaan program baik tanam maupun panen. Selain itu juga, adanya perlindungan bagi petani dari sisi panen. Coba kita lihat sekarang, panen berlimpah, namun harga tidak dibantu. Karena tidak adanya program yang jelas dari pemerintah untuk mengangkat produksi pertanian itu sendiri,” ujar Rofandi.

Rofandi menganggap dalam mekanisme penganggaran tentang harga-harga, bagi pemerintah akan lebih mudah menghitung angka dibandingkan melihat yang terjadi di lapangan.

“Ketika melakukan target pemenuhan, pemerintah terkadang tidak melihat dari mana barang (produksi) petani. Sehingga pemerintah akan melakukan impor jika barang kurang karena dinilai lebih mudah,” pungkasnya.

Jika melihat media massa, para politikus jarang sekali membahas isu mengenai nasib petani di Indonesia. Rofandi menyampaikan bahwa membahas isu pertanian juga cukup seksi. Ia memberikan contoh pertumbuhan PDB yang positif di sektor pertanian.

“Namun sayangnya, isu pertanian kurang menarik jika dibandingkan dengan isu keuangan, perdagngan, atau juga industri. Padahal sektor pertanian merupakan penopang bagi sektor lain. Ibaratnya pertanian diibaratkan dikorbankan demi pertumbuhan, misalnya untuk sektor industri,” jelas Rofandi.

Rofandi pun memberikan saran kepada para politisi untuk terjun langsung ke lapangan.

“Turun langsung. Lihat yang terjadi di lapangan. Jangan membuat aturan maupun keputusan di atas meja tanpa melihat realita yang terjadi sebenarnya,” tutup Rofandi.