Pada sebuah tatanan pemerintahan yang demokratis, komponen rakyat seharusya menjadi peran utama. Hal tersebut didasarkan pada sistem demokratis, kekuasaan berada di tangan rakyat bukan di tangan penguasa. Namun yang terjadi hari ini amatlah berbeda.
Keadilan sosial yang menjadi sila kelima dalam Pancasila terasa amat samar. Monopoli dan dominasi masih dikuasai oleh si empunya kekuasaan.
H. Arendt mengamati persoalan kejahatan politik terjadi karena keingintahuannya tentang penyiksaan sistematis dan usaha membuat lapar menciptakan situasi kematian permanen, di mana kematian maupun kehidupan diabstraksikan. Kejahatan dimulai dengan memarjinalkan, mendiskriminasi, serta menafikan. Kemudian, penyiksaan membuat lapar dan pembunuhan tidak memunculkan rasa bersalah karena manusia hanya dianggap angka, yang dapat dilenyapkan, bahkan dipandang negasi oleh ras unggul maupun agama pilihan.
Di Indonesia, korupsi telah menjadi kejahatan struktural. Berdasarkan laporan Transparency International ‘Global Corruption Barometer-Asia’ akhir November lalu, Indonesia masuk peringkat nomor tiga negara terkorup di Asia.
Dengan ancaman hukuman yang dijatuhkan bila tertangkap atas tindakan korupsi, rasanya belum cukup untuk menakuti para koruptor. Akhirnya rakyat yang terkena imbas akibat kejahatan yang dilakukan oleh para empunya kekuasaan.
Dasarnya, manusia memiliki hasrat untuk memperkaya diri. Hal ini bahkan terjadi pada beberapa orang yang sudah mapan. Mereka terus berupaya untuk menambahkan harta sekalipun itu dari perbuatan tercela.
Jika dipikirkan lagi, untuk apa mengumpulkan harta susah payah bahkan hasil korupsi yang seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat banyak? Karena mereka tak pernah berpuas diri. Terus berupaya untuk memenuhi hasrat mereka sekalipun itu akan merugikan orang lain.
Jika saja mereka mau memikirkan rakyat banyak, tentu korupsi akan dihindari. Namun, karena mereka mengingkari kesulitan yang dihadapi oleh orang lain sehingga menganggap bahwa mereka lebih membutuhkan. Maka, kecelakaanlah yang mereka dapatkan.
Ketika berkampanye, mereka acap kali mengumbar janji. Menyebut nama rakyat berulang-ulang kali bak kaset kusut. Setelah melenggang menuju kursi kekuasaan, mereka abaikan semua kepercayaan yang telah diberikan karena kekuasaan itu membutakan.
Koruptor itu tak memikirkan kesulitan yang dihadapi oleh orang miskin yang harus memikirkan makanan untuk esok hari tersedia atau tidak. Melainkan mereka memikirkan lahan mana yang perlu dikeruk agar harta menumpuk. []