Awalil menyebut, kebijakan ini menciptakan persepsi bahwa SBN dijamin oleh BI, sehingga masih diminati oleh pelaku pasar. Namun, ketergantungan yang berlebihan ini dapat menjadi ancaman jika terjadi guncangan eksternal akibat kondisi ekonomi global.
“Sejauh ini, kepercayaan pasar masih terjaga, termasuk minat asing terhadap Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Namun, struktur utang pemerintah dan portofolio moneter BI tidak terlalu kuat untuk menghadapi risiko eksternal,” ungkapnya.
Dengan berakhirnya ketentuan darurat pandemi, Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) kembali memperbolehkan BI membeli SBN di pasar perdana.
Namun, pembelian tersebut hanya diperbolehkan dalam kondisi krisis dan untuk SBN berjangka panjang. Meski demikian, kebijakan BI pada tahun 2024 menunjukkan bahwa pembelian tetap dilakukan meskipun kondisi krisis tidak secara resmi dinyatakan.
Awalil menilai, keputusan untuk menerbitkan keterangan pers bersama BI dan Kemenkeu pada akhir 2024 justru mengindikasikan adanya kerawanan dalam sistem keuangan.
“Secara implisit, hal ini menunjukkan bahwa kondisi keuangan dan moneter Indonesia pada semester kedua 2024 tidak biasa,” katanya.
Dalam pandangan Awalil, Bank Indonesia seharusnya mulai mengurangi porsi kepemilikannya atas SBN secara perlahan.
“Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan tidak membeli SBN baru untuk menggantikan SBN yang jatuh tempo,” usulnya.
Ia juga menekankan pentingnya penguatan struktur keuangan pemerintah agar tidak terlalu bergantung pada BI.
Tanpa langkah ini, risiko instabilitas sistem keuangan nasional akan terus meningkat, terutama jika terjadi perubahan signifikan dalam kondisi ekonomi global.
Memasuki tahun 2025, tantangan bagi Bank Indonesia dan pemerintah akan semakin besar. Selain menjaga stabilitas pasar SBN, mereka juga harus menghadapi risiko dari guncangan eksternal dan kebutuhan untuk mengelola utang pemerintah yang semakin membengkak.
Meskipun kebijakan pembelian SBN oleh BI bertujuan baik, pengamat menilai langkah ini perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak menciptakan ketergantungan jangka panjang yang dapat merugikan stabilitas ekonomi Indonesia di masa depan. []