BARISAN.CO – Di sebuah waktu di masa Orde Baru, KH. Abdul Rozak Fachruddin (atau biasa dipanggil Pak AR) mendengar suara Presiden Soeharto di sebuah radio. Pak Harto sedang menyampaikan keharusan bagi semua kekuatan sosial untuk menerima asas tunggal Pancasila.
Tentu soal demikian lekas menjadi kekhawatiran Pak AR. Sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, ia harus memutuskan, apakah menerima Pancasila sebagai asas yang lebih tinggi ketimbang tauhid, atau teguh mempertahankan sikap dengan taruhan keselamatan orang banyak.
Pada saat itu, begitupun sekarang, semua orang paham bahwa setting politik Orde Baru telah membuat Soeharto menjadi raja tega. Segala sesuatu yang berhubungan langsung dengan praktik kekuasaannya, termasuk soal asas-berasas, punya konsekuensi yang lebih mirip ancaman bagi orang lain.
Pak AR kemudian berdialog dengan banyak pihak. Silang pendapat heboh terjadi di tubuh Muhammadiyah. Tapi pada saat itu, pengurus sepakat untuk tidak menampakkan kegelisahan, dan memilih untuk tetap tenang meski dalam bayang-bayang ancaman.
Singkat cerita, dari dinamika yang terjadi, Muhammadiyah menerima kehadiran Pancasila. Dengan catatan hanya asas dalam berpolitik, bernegara, dan bermasyarakat. Bila Muhammadiyah dipaksa menjadikan Pancasila asas tunggal, pada saat itu Pak AR tegas menjawab: TIDAK BISA.
Memimpin Muhammadiyah dengan Tenang
Pak AR adalah Ketua Umum yang nyaris gelondongan membawa Muhammadiyah mengarungi Orde Baru. Masa kepemimpinannya (1968-1990) yang diwarnai corak mubalig kampung, sering disebut sebagai faktor kenapa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern selalu lolos dari kecurigaan negara: Muhammadiyah dianggap bukan ancaman kekuasaan.
Selain itu, mobilitas vertikal dari Pak AR juga menjadi hal penting. Di satu sisi, ia mampu berdialog bahkan menjaga hubungan baik dengan Presiden Soeharto lewat perbincangan-perbincangan yang bersahabat. Di waktu lain, Pak AR diterima berdakwah di kampung-kampung, dengan sederhana, tanpa banyak mengorbankan ciri modern Muhammadiyah.
“Ada 2 ciri yang menonjol dari Pak AR,” kata Buya Syafi’I Maarif dalam sebuah catatan. “Pertama, kejujuran dan kesederhanaannya. Kedua, kemampuannya menyampaikan ajaran Islam yang substansial dengan cara yang mudah dipahami semua kalangan, termasuk oleh kalangan non-muslim.”
Bagi Pak AR, lanjut Buya Syafi’i, memberikan kemudahan pada umat dalam mengamalkan ajaran Islam adalah keharusan. Bagi umat semua persoalan harus dipermudah, bukan sebaliknya.
Namun di balik pembawaannya yang sejuk, humoris, dan santun, kepemimpinan Pak AR tidak lepas dari kritik. Masa baktinya yang merentang lebih dari dua dasawarsa dinilai membawa kemandekan bagi Muhammadiyah. “Kaderisasi berjalan stagnan,” kritik Buya Syafi’i.
Menjelang Muktamar Muhammadiyah yang ke-42 pada 1990, kritik juga dilontarkan Lukman Harun, Ketua Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah. Ia menegaskan perlu profesionalisme manajemen dalam organisasi sebesar Muhammadiyah.
Di kesempatan yang sama Amien Rais juga mengkritik tentang kaderisasi. Menurutnya Muhammadiyah akan tumbuh segar, dinamis, dan kreatif andai kader Muhammadiyah merotasi kepemimpinannya.
“Kalau bisa Muhammadiyah bukan saja patah tumbuh hilang berganti. Namun sebelum patah sudah berganti dan tumbuh. Sebelum hilang sudah ada gantinya.” Kata Amien Rais, diwawancarai oleh mantan wartawan Tempo Faried Cahyono pada tahun 2010 mengomentari kepemimpinan Pak AR.
Mengkritik Muhammadiyah
Sebetulnya, Pak AR juga menaruh perhatian tentang kaderisasi. Ia mencemaskan betapa sebagai organisasi besar, Muhammadiyah sering gagal menampung dan menyediakan pendidikan bagi kader-kadernya. Dulu di masa kepemimpinannya, hal ini acap terjadi. Tak sedikit kader gagal mengenyam sekolah karena faktor biaya.
Dalam reportase yang ditulis Faried Cahyono, Pak AR juga menaruh keprihatinan kepada anak yang sudah bertahun-tahun sekolah di Muhammadiyah, tetapi tidak bisa membaca al-Quran. “Mengapa terjadi demikian, apa yang salah dari sekolah itu?” Kata Pak AR.
Demikianlah alasannya mengapa Pak AR cukup ketat dan teliti melakukan kontrol atas hasil lulusan. Ia akan turun tangan langsung untuk menilai hal-hal elementer lulusan Madrasah Muallimin Muhammadiyah seperti bagaimana salatnya, kefasihannya membaca al-Quran, dan cara dakwahnya.
Pak AR juga meminta para lulusan untuk berkunjung ke tokoh-tokoh Muhammadiyah agar mendapat inspirasi dan keteladanan dari mereka. Tradisi ini berjalan dengan baik. Pernah terhenti beberapa periode setelah kepemimpinannya, namun dimulai lagi pada tahun 2009.
Kritik juga Pak AR lontarkan melihat cara Muhammadiyah mengelola rumah sakit, yang dinilainya tidak cepat, kurang ramah dan santun, serta tidak memuaskan umat. Kecenderungan membeda-bedakan si kaya dan si miskin juga masih kental pada saat itu.
Lewat kritik-kritiknya, Pak AR seperti ingin meletakkan Muhammadiyah sebagai pelayan umat. Cara kepemimpinannya pun jelas mencerminkan hal itu. Dalam khazanah Jawa, ia memimpin dengan manjing ajur ajer, menempatkan diri sederajat dengan siapa saja tanpa kecuali.
Dapat dikatakan bahwa Pak AR adalah sosok penting dalam dinamika kebangsaan dan keumatan di Indonesia. Hampir pasti ketika Indonesia dihadapkan pada krisis kepemimpinan, nama KH. Abdul Rozak Fachruddin teresonansi dalam percakapan publik. Lebih-lebih tidak banyak seperti Pak AR, pemimpin yang mudah dijangkau, dekat, memudahkan persoalan, terasa seperti kawan biasa. []
Penulis: Ananta Damarjati
Editor: Ananta Damarjati
Diskusi tentang post ini