Kyai Yayan sendiri, jika diflashback ke tahun 2010, saat pertama kali Rumah Tahfidz Kiai Marogan didirikan olehnya, agaknya dia telah mengalami pahit getirnya perjuangan sampai pada titik sekarang ini. Tak terbilang tantangan dan rintangan yang dihalau dan dilaluinya untuk dapat sampai pada pencapaian sekarang ini.
Dengan semua pengalaman itu, akhirnya Kyai Yayan menemukan formula dan kiat membangun lembaga pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dan istimewanya lagi, semua pendanaan untuk membangun fasilitas pendidikan yang tidak murah itu, sama sekali tidak bergantung pada pemerintah, tetapi mendayagunakan instrumen wakaf dan sumbangan perorangan yang tidak mengikat dan dari berbagai orang dan lokasi. Bahkan ada beberapa penyumbang dari luar negeri. Kyai Yayan memanfaatkan dengan cerdas kekuatan internet dengan beragam saluran media sosial yang tersedia untuk menjangkau para penyumbang yang jumlahnya besar sekali.
Boleh dikatakan, Kyai Yayan telah berhasil mengawinkan instrumen wakaf dengan flatform media sosial, sekaligus mengelolanya secara cerdik dan berkelanjutan. Hal ini memang meniscayakan kecerdasan membaca tren dan situasi.
Kyai Yayan secara berkelakar mengatakan, “Sebenarnya orang yang nyata itu, yang berada di media sosial.” Sungguh suatu pernyataan yang mengejutkan. Tetapi mengindikasikan kecermatan membaca tren.
Dari pantauan yang ada, perkembangan rumah-rumah tahfidz di Sumatera Selatan, telah membawa ekosistem dakwah makin kondusif dewasa ini. Sebab yang harus dilihat, setiap rumah tahfidz itu, mengintegrasikan segmen elit Muslim yang gemar menyumbang dan segmen masyarakat Muslim yang kebetulan kurang berpunya. Dan peran semacam Kyai Yayan, merupakan jembatan yang mengintegrasikan dua segmen umat Islam itu.
Ke depan setelah rumah-rumah tahfidz booming dan keakraban masyarakat terhadap Al-Qur’an makin lumrah, maka waktunya maju memasyarakatkan keilmuan Al-Qur’an dan akhlak Al-Qur’an. Singkatnya, gerakan berikutnya di atas fondasi ramainya lembaga-lembaga tahfidz, para donatur dan para penghapal Al-Qur’an, yaitu gerakan ilmu dan akhlak sekaligus. Kita menginginkan sosok para haffazh yang berakhlak menawan dan berilmu laksana begawan.
Menguasai ulumul qur’an, komunikasi, psikologi, filsafat, kewirausahaan dan tentu saja ilmu organisasi. Semua ilmu itu akan membantu seorang hafiezh yang da’i melancarkan pekerjaan-pekerjaannya yang makin kompleks.
Seorang hafiezh dengan sendirinya memiliki kemampuan berpikir kompleks dan strategis. Tidak cukup menjadi muballigh dan guru. Tapi harus menjadi pemimpin masyarakat dan komunitas. Dan sosok semacam itulah yang dijelmakan dalam kehidupan pribadi Kyai Yayan saat ini. []
* Ditulis oleh: Syahrul Efendi Dasopang,
Sekjen Ikatan Sarjana Al-Qur’an Indonesia (ISQI)