Namun, hingga hari H, yang mendaftar hanya dua entitas yakni PT Moya Indonesia dan Manila Water.
“Pengumuman lelang di website kita yang layak dan memenuhi syarat untuk proses selanjutnya cuma dua, yaitu Moya Indonesia sebagai pemrakarsa dan Manila Water. Dua itu bertanding, mereka submit proposal,” ungkap Tedy.
PAM Jaya kemudian didampingi oleh EY (Ernst & Young), AGPR Law Firm, dan Mott MacDonald.
“EY sendiri konsultan bisnis internasional, Mott MacDonald itu konsultan teknik internasional, dan AGPR konsultan hukum yang sudah banyak membantu kontrak infrastruktur di Jakarta dan nasional. Termasuk dalam tiap tahap, kita selalu rutin pendampingan oleh kejaksaan tinggi dan BPKP,” paparnya.
Tedy mengaku, saking paranoidnya, setiap tahapan didokumentasikan termasuk notulensi rapat, dibundel, dan tersimpan dengan baik di gudang.
“Sehingga, pada hari terakhir lelang, mereka masukkan dokumen yang terendah sebenarnya adalah Manila Water. Selisihnya, hampir Rp30 triliun,” tuturnya.
Tedy menuturkan, sebagai pemrakarsa, Moya Indonesia memiliki hak yang disebut dengan right to match, yang diatur dalam aturan KPBU (Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha).
“Jadi, menawar dengan harga terendah yang sudah diberikan,” imbuhnya.
Tedy menceritakan, itulah kisah dibalik terpilihnya Moya Indonesia sebagai mitra untuk skema bundling.
“Semuanya terdokumentasi dan ter-publish di website dan pengumuman lelang kita umumkan ke media massa,” pungkasnya