Jika kebanyakan perusahaan cenderung profit oriented, namun ini justru berbanding terbalik dengan PAM Jaya.
BARISAN.CO – Salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta, yakni Perusahaan Air Minum Jaya (PAM Jaya) ternyata selama ini tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata. Hal ini karena air bersih merupakan hal dasar yang harus didapat masyarakat, terkhusus warga Ibu Kota
Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso menetapkan Peraturan Gubernur No.11 Tahun 2007 Tentang Penyesuaian Tarif Otomatis (PTO) Air Minum Semester I Tahun 2007. Peraturan itu mengurai kelompok I yakni tempat ibadah, hidran dan ledeng minum, asrama badan sosial, rumah yatim piatu, serta lainnya dikenakan tarif Rp1.050 per satu m/kubik. Sementara, kelompok II antara lain adalah rumah sakit pemerintah, rumah tangga sangat sederhana, rumah susun sangat sederhana, dan sejenisnya juga dikenakan tarif sama.
Satu meter/kubik setara dengan seribu liter air. Itu artinya, per liter harganya Rp1. Padahal, harga air minum merek terkenal yang dijual di pasaran bisa Rp1.000an/liter. Tentu, harga yang ditawarkan PAM Jaya jauh lebih murah.
Dari Pergub itu berlaku hingga saat ini, tarif air minum di Jakarta belum pernah naik, meski memiliki mitra swasta, Aetra dan Palyja, yang keduanya akan berakhir masa kontraknya pada 31 Januari 2022 mendatang.
Tentu, jika bicara soal bisnis, PAM Jaya jelas bukan perusahaan yang profitable. Terlebih, hingga saat ini, tak seperti BUMD Pemprov DKI Jakarta lainnya, PAM Jaya belum pernah memberikan dividen. Ternyata, ada alasan yang melatarbelakanginya.
“Penyesuaian mayoritas pelanggan PAM Jaya adalah MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah), dari perhitungan bisnisnya sebulannya itu dari 2017 hingga hari ini, PAM Jaya menyubsidi immaterial,” kata Syahrul Hasan, Direktur Pelayanan PAM Jaya pada Kamis (24/11/2022).
Diketahui, subsidi immaterial yang digelontorkan oleh PAM Jaya senilai Rp600 miliar. Jika dikalikan dari Pegub besutan Sutiyoso hingga saat ini sudah 15 tahun dan jumlahnya sekitar Rp9 triliun.
Syahrul mengungkapkan, PAM Jaya pernah ditanya oleh Dewan Rakyat Perwakilan Daerah (DPRD) DKI Jakarta kenapa tidak pernah menyetor dividen.
“Pertama, karena memang regulasi, Permendagri kalau cakupan layanan PAM se-Indonesia kalau belum 85 persen, maka PDAM belum wajib menyetorkan dividen, tapi PAM Jaya sudah menyetorkan dividen immaterial,” jelasnya.
Bedasarkan Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) No 71 Tahun 2016 tentang Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum pasal 2 poin a disebutkan, perhitungan dan penetapan tarif air minum didasarkan pada keterjangkauan dan keadilan. Sementara, pada pasal 3 dijelaskan, pasal 1 dijelaskan, keterjangkauan yang dimaksud dalam Pasal 2 adalah (a) penetapan tarif untuk standar kebutuhan pokok air minum disesuaikan dengan kemampuan membayar pelanggan yang berpenghasilan sama dengan Upah Minimum Provinsi serta tidak melampaui 4 persen dari pendapatan masyarakat pelanggan dan (b) penetapan tarif standar pokok air minum bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah diberlakukan tarif setinggi-tingginya sama dengan tarif rendah.
Sedangkan, keadilan yang dimaksud dalam pasal 3 ayat 2 dijelaskan, keadilan adalah (a) penerapan tarif diferensiasi dengan subididi silang antar kelompok pelanggan, dan (b) penerapan tarif progresif dalam rangka mengupayakan penghematan penggunaan air.
Jakarta sejak 2007 selalu mengalami kenaikan UMP. Di tahun 2007, UMP yang ditetapkan di Jakarta adalah Rp900.560/ bulan. Kemudian, di tahun 2022 mencapai Rp4.641.854. Jadi, selama 15 tahun terakhir, walaupun kenaikan UMP di DKI Jakarta sebesar 515,44 persen, namun biaya tarif PAM Jaya masih tetap sama.
Syahrul menambahkan, air curah dari tahun 2007-2021, agregat kenaikannya mencapai 73,94 persen. Ini air curah yang kita beli dari Tangerang, jelasnya
“Kemudian, air baku yang kita beli dari Jatiluhur kenaikannya sudah 113 persen. Kenaikan listrik agregatnya sudah 153 persen, tapi PAM Jaya tetap sama,” tambahnya.
Lalu, bagaimana dengan Pulau Seribu?
“Kita mengelola 8 SWRO (Sea Water Reverse Osmosis) dibangun oleh Dinas Sumber Daya Air, kemudian diserahkan ke PAM Jaya yang kelola. Biaya produksi 1 meter kubik di Pulau Seribu kurang lebih Rp30-40 ribu, tapi PAM Jaya jual dengan harga Rp1.050,” lanjut Syahrul.
Jika bicara bisnis, Syahrul menerangkan, tentu akan rugi.
“Tapi, karena ada keberpihakan, Pemprov DKI melalui PAM Jaya kita samakan antara yang di daratan dengan yang ada di Pulau Seribu. Memang ga dapat kalau bicara bisnisnya karena memang, kita harus mengisi gap biaya dan kalau kita bicara produksi karena air laut yang dikelola, maka tentunya banyak kondisi teknis yang juga secara pembiayaan atau maintenance itu jauh lebih mahal,” terangnya.
Soal tarif di Jakarta, Syahrul menyadari, tarif tersebut jauh lebih rendah dari kota penyangganya, seperti Depok dan Tangerang. Di Depok, Tirta Asasta Depok memberlakukan tarif untuk Kelompok I per satu meter kubik mulai dari Rp1.900-Rp6.800 dan untuk Kelompok II: rumah sangat sederhana dikenakan tarif Rp2.700/ satu meter kubik. Kemudian, Perumda Tirta Benteng Kota Tangerang memberlakukan tarif untik kelompok I mulai dari Rp2.400-Rp2.775/ satu meter kubik.
“Tarif air sesuai Permendagri tiap tahunnya boleh dinaikkan. Bahkan, Permendagri itu menyebutkan, memang Pemprov itu berkewajiban menyesuaikan, tapi kebijakan ga populis, makanya dari tahun 2007 hingga saat ini ga pernah dinaikkan,” ujarnya.
Syahrul berpendapat, kondisi itu kemudian tidak pernah dipublikasikan karena memang dihandel oleh Aetra dan Palyja.
“Oleh karena itu, saya kira pada persoalan in, memang penting publik Jakarta mengetahui betapa murahnya tarif yang selama ini diberlakukan oleh PAM Jaya,” pungkasnya. [rif]