Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Maulid Nabi, Kitab Al Barzanji dan Sejarah Perlawanan Non-senjata

Redaksi
×

Maulid Nabi, Kitab Al Barzanji dan Sejarah Perlawanan Non-senjata

Sebarkan artikel ini

Bukan hanya itu, kitab Maulid Al-Barzanji juga dibaca ketika ada acara-acara khusus seperti kelahiran bayi, pindah rumah, dan upacara tujuh bulan kelahiran, dan sebagainya. Tradisi ini ternyata bukan hanya di Jawa saja, di Sulawesi misalnya, Al-Barzanji juga dibaca pera nelayan sebagai bagian ritual menjelang musim melaut. 

Keindahan diksi prosa–puitis mengenai sejarah kehidupan Nabi sangat terasa saat kami membaca kita Al-barzanji secara berjamaah. Membaca bait-bait dalam kitab Al-barzanji membuat kami seperti terlibat langsung dalam penggalan-penggalan hidup bersama Rasulullah SAW. Saat yang paling mengesankan buat saya membaca adalah ketika kami sampai pada bab mahalul qiyam, saat mana para hadirin diminta berdiri dan kemudian melantunkan syair-syair pujian kepada Nabi dengan lagu yang merdu.

Suasan trance mulai terasa pada fase tersebut, saat melantunkannya tiba-tiba kami merasa serasa sangat dekat dengan Sang Nabi dan kadang merasa seperti berada langsung di hadapannya. Sering di antara kami ada yang sampai menangis terisak-isak saking tak kuatnya menahan rasa ‘isyq (rindu) kepada Sang Nabi.

Di bawah ini adalah sebagian kecil kutipan syair dalam Al-Barzanji. Kutipan syair ini dibaca sambil beranjak berdiri seperti seakan-akan kita menyambut kedatangan seorang tamu. Ya, tamu itu adalah Sang Rasul Muhammad SAW. Momen inilah yang biasanya menjadikan kami seakan trance dan merasakan bertemu langsung dengan Sang Rasul.

Lanjutan penggalan syair ini sebenarnya masih panjang: Ya Nabi salâm ‘alaika (Wahai Sang Nabi, salam untukmu) Ya Rasûl salâm ‘alaika (Wahai Sang Rasul, salam untukmu) Ya Habîb salâm ‘alaika (Wahai Sang Kekasih, salam untukmu) ShalawatulLâh ‘alaika (Shalawat Allah selalu teruntuk padamu) Maulid Al-Barzanji, Kitab Perlawanan Muslim Tak banyak yang menelisik bahwa sesunggunya pringatan Maulid Nabi diciptakan sebagai bagian dari cara membangkitkan semangat kaum Muslim untuk melawan terhadap penyerangan besar-besaran yang dilakukan oleh tentara the Crusader dari daratan Eropa, waktu itu. 

Tahun 1099 M, ekspansi besar-besaran tentara the Crusader telah berhasil berhasil menguasai Yerusalem (Palestina) dan hal tersebut menjadikan umat Islam kehilangan semangat perjuangan. Secara politis umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan atapun kesultanan, dan mereka tak punya lagi semangat persaudaraan. Muncullah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (memerintah dari tahun 1174-1193 M dengan pusat pemerintahan di Kairo, Mesir) tampil mempimpin perlawanan.