Scroll untuk baca artikel
Risalah

Koboi Cilik

Redaksi
×

Koboi Cilik

Sebarkan artikel ini
  • Ada perempuan jalan sendiri, dari mana mau kemana?
  • Dari belakang mau ke depan, Kang.
  • Ndak nanya.
  • Lho tadi nanya, sekarang bilang ndak nanya.
  • Ra takon..! Dasar perempuan.
  • Saya memang perempuan, Akang lelaki.
  • Ndak percaya.
  • Kok ndak percaya, Kang.
  • Mana buktinya..?
    Penonton tertawa riuh.
  • Maksudnya saya memang perempuan, dan saya punya nama.
  • Oh ya, saya belum tanya nama.
  • Lupa ya, Kang, masih muda kok pelupa.
  • Jangan banyak kata, siapa namamu?
  • Sipah, Kang, nama Akang siapa?
  • Sanut oke.
  • Terus nanya apa lagi, Kang.
  • Alamat..alamat..?
  • Kalimati, Kang.
  • Perawan, isteri, janda..?
  • Perawan, Kang.
    Tahu saatnya mau digarap, Koko memasang selampe pada hidung dan mulutnya, model koboi yang dilihatnya di komik koboi. Dilihatnya Bodor dan Encle terus dogeran.
  • Ah ndak percaya perawan, mana buktinya?
    Penonton tertawa makin riuh.
  • Betul, Kang, saya ndak bohong…
    Sanut kemudian merentak menghampiri koboi cilik. Menarik gandeng Koko ke tengah kalangan.
  • Ini siapa hayo, ini anakmu to..?
    Sipah tertawa geli melihat Koko berpenutup muka model koboi. Saking gelinya membuat ia tidak kuasa menari, sampai terduduk sambil meremasi perut.
    Penonton pun tak habis tertawa berderai-derai. Terutama melihat koboi cilik berlarian seakan tidak mau diaku anak oleh si Encle. Berlarian ke sekeliling arena dikejar si Bodor dengan gerakan melucu-lucu seperti monyet. Sungguh Koko seperti bagian dari pemain, padahal dia penonton yang dilibatkan oleh si Bodor. Juga si Encle tak salah ketawa geli, seolah melihat anak lanangnya menyaru sebagai koboi cilik. Makin memuncak tawa penonton, saat Sanut berhasil menangkap koboi cilik, lalu dengan kocak mengenakan pecinya ke kepala koboi cilik. Betapa si koboi cilik serupa dirinya, berpeci melintang.

SINDEN TARWI sehitam manis montok Tarmi tersenyum-senyum menyimpan mafhum, tahu siapa di balik selampe penutup muka. Paham mengapa si bocah lanang bergaya koboi cilik. O andai ada yang tahu, siapa wajah bocah di balik selampe. Pasti alun-alun akan geger, dan bisa celaka Doger Rakyat. Dalam kecemasannya Manis yang seusia Yu, namun bagai perpaduan hitam-putih, tersenyum-senyum dalam tawa tertahan, melihat kelucuan koboi cilik. Betapa Koko yang kemudian dikenakan sarung Sanut menyelempang di dada, bergaya koboi berkacak pinggang.

Jadi, hanya Caung penjual rokok dekat warung Yu, yang tahu siapa si koboi cilik. Meski ia pun cuma senyum-senyum sambil geleng kepala, saat sesaat tadi melongok ke kalangan doger di antara lingkaran penonton. Untuk itu dia pun diam saja, menyimpan rahasia, siapa si bocah lanang yang ikut bermain dalam lakon Bodor-Encle. Betapa pun dia juga pasang badan untuk untuk Koko, andai ada yang terjadi mau mencelakai atau mengganggu kehormatan keluarga asal si bocah lanang. Sebabnya, demikianlah alun-alun, tempat bertemunya banyak orang. Manusia dengan berbagai sifat dan laku, yang disebut masyarakat, manusia-manusia yang mengadu nasib di alun-alun.

Orang-orang, lingkaran penonton Doger Rakyat, tentu yang mereka tahu, si koboi cilik adalah bagian dari rombongan kesenian itu. Mungkin anak Encle Sipah, atau cucu Sinden Tarwi. Sebab demikianlah yang juga mereka tahu, rombongan Doger Rakyat adalah satu keluarga. Hanya hubungan orang per-orangnya yang mereka tidak tahu. Terutama, bagi penonton setia, yang tidak peduli isteri siapa Encle Sipah, juga ronggeng encle yang lain. Isteri siapa Sinden Tarwi, yang kalau menembang begitu merayu kalbu. Walau dalam bahasa syair yang medok, tapi ada sihir rasa membelai jiwa lara.

Dalam duduk menyikapi kain kebaya gelung konde beronce melati, ketenangannya adalah brubuh bagi penonton muda pendamba bunda piara. Demikianlah adanya, Tarwi adalah bunda bagi segenap awak seni lakon Doger. Niyaga, pemain, menganggap Nyi Sinden adalah bunda piara mereka. Juga Tarwi yang dalam usia menginjak empat puluh lima tahun belum mempuyai anak, menganggap awak Doger adalah anak-anaknya. Juga segenap penonton bagi Nyi Sinden adalah anak dambaan, terutama Koko, yang baginya curahan kasih sayang bagai ibu terhadap anak kesayangan. Di waktu lalu, Koko biasanya menyusup dari belakang niyaga, dan duduk di sebelahnya. Ketenangan dan senyumnya pun membayang saat dilihatnya Koko kembali duduk nongkrong di antara kaki-kaki penonton, dan dilihatnya Caung merangkul si koboi Cilik. Ia tidak mendengar yang dibisikkan Caung di telinga Koko, tapi ia mafum apa yang dikatakan.

“Koko mainnya bagus tadi,” bisik Caung.
“Apa Man Caung lihat.”
“Oh, lihat..,” yakin Caung, “sekarang Koko pulang ya, nanti dicari Eyang Darpo, saya antar ya…”
Koko terdiam, manut digapai gandeng Caung keluar lingkaran penonton, diikuti pandang senyum Tarwi. Menyisir belakang warung Yu, lalu gerobak rokoknya yang dijagai Manis, Caung dan Koko mau menyeberang. Manis menyulut rokok lagi di corong lampu minyak, lalu serunya, “Caung..! Upahnya rokok sebatang ya..!?” Kendang dan gamelan kembali menghentak dan mengkloneng, memasuki babakan lanjut seni lakon Doger yang mbarang hampir tiap malam di alun-alun. Kemudian teriakan Sanut, “hak hak hak ee..!”***