Scroll untuk baca artikel
Blog

Kupat Bongkok Yu Merdeka

Redaksi
×

Kupat Bongkok Yu Merdeka

Sebarkan artikel ini

ADA tiga kuliner Tegal yang menggunakan bahan dasar kupat. Kupat glabed, kupat blengong, dan kupat bongkok. Kupat blengong paling spesifik, karena tampilannya yang ancur-ancuran.

Terutama tampilan sayur dari tempe kemarin yang sengaja dihancurkan, dengan racikan rebusan krupuk mi yang diluluh lantakkan pula dan berwarna terasi. Lalu taburan krupuk mi kuning yang diremuk redam.

Pokoknya, pinjam judul novel Martin Suryajaya “Kiat Sukses Hancur Lebur”lah. Tapi jangan tanya rasanya. Kalau Halim HaDe penasaran boleh tanya Dadang Christanto .

Dadang yang kini tinggal di Australia, alasan dia pulang kampung hanya karena magnit menu dalam kumparan tinggi: kupat bongkok. Saksinya Mas Erwin . Setiap singgah dan menginap di rumah Erwin, pagi-pagi Dadang bisa dipastikan menagih, “boeng ayo boeng, kita cari kupat bongkok!”

Ya, kupat bongkok memang satu genre kuliner sarapan pagi.

Saya berusaha mencari cari alasan, mengapa Dadang tergila-gila pada kupat bongkok. Mungkin karena kuliner ini berasal dari Desa Bongkok — bukan karena penjajanya bongkok — satu desa ke arah selatan dari desa kelahiran Dadang, Kemantran. Satu kecamatan dengan kampung Agus Noor , Kramat.

Kemungkinan kedua, sebab tampilannya yang kekiri-kirian dengan cita kerakyatan dan rasa egaliter. Ingat, Dadang adalah perupa nomer wahid dalam perjuangan melawan lupa terhadap peristiwa politik berdarah, Denosida. Bahkan sanggarnya di Australia diberi nama 1965.

Erwin pernah cerita, tentang saat bersama Dadang sarapan kupat bongkok, mereka berdua keracunan dan harus wira-wiri ke WC. Dikabarkan Dadang justru wira-wirinya di dalam pesawat saat terbang kembali ke Australia.

Erwin trauma berat dan menyatakan putus cinta dengan kupat bongkok. Tapi saat saya menanyakan kepada Dadang dalam satu statusnya di Facebook, Dadang menjawab dengan amat heroik: tidak ada kata trauma untuk kupat bongkok!

Pagi ini saya berjalan kaki 500 meter dari rumah wakaf Lutfi AN , rumah biasa saya singgah kalau pulkam. Menyisir hilir sungai Kaligung, saya menemu berbagai kuliner sarapan pagi girli. Saya merasa patriotik sejati, dengan seruan Dadang ‘boeng ayo boeng’ mencari kupat bongkok.

Ketemu, Yu Mer yang namanya selalu saya plesedkan Yu Merdeka, baru tiba bersepeda motor dengan semacam ransel terpal besar di goncengan sepeda motor berisi uborampe jajaannya.

Orangnya sigap dan berciri manusia Jawa layak lukisan Djoko Pekik. Dia siapkan segala property di meja darurat. Termasuk panci sayur di bangku kayu reyot saya duduk. “Awas ya, Um, mbokan njempalik,” katanya. Kemudian setelah hampir semua tertata dia minta tolong saya ambil panci di sebelah saya itu, “tulung jukutna kuwe, Um!” Nadanya biasa saja, meski saya nggrundel, enak bae kongkonan wong tuwa..stroke maning.

Sudah ada lima orang ngantri, saya yang kelima. “Um-e bungkus apa mangan ngene.” Saya jawab, mangan ngene, dia pun trampil meracik kupat bongkok dalam mangkok ukuran soto.

Saya cukup satu mangkok kuliner yang dengan cita selera Dadang boleh tanding dengan kuliner klas hotel bintang 5. Dan saya cukup membayar 6 ribu rupiah!

Jadi kalau kita terus ‘melawan lupa’ kontravita oligarchy, jangan percaya pada tetek bengek inflasi dan jasmerah berlumur darah. Boeng ayo Boeng, ayo kita cari Yu Merdeka..!***