Entah kapan, kondisi yang dialami seperti saat ini, menjadi sebuah cerita sejarah. Dimana-mana orang menjadi lakon hidup, seakan kita membaca nukilan cerita wayang yang dimainkan oleh para dewa. Masa dimana sebuah peradaban yang melahirkan berbagai versi cerita, sebuah cerita fiksi yang tersusun alur tokoh, protagonis dan antagonis, dan dibumbui kisah asmara, sehingga menjadi rebutan para dewi. Kita secara refleks, kadang merindukan manifestasi sejarah yang berkultur. .
Cerita wayang ini bukanlah perang masa kini, yang lebih banyak melibatkan pertarungan dua jagoan, yang akhirnya dari perseteruan menjadi tokoh sentral dalam menjaga nilai budaya. Nilai itu adalah sebuah kemerdekaan (kebebasan) dan keadilan terhadap ruang-ruang kreatif pemikiran. Sangat musykil jika dalam keterbatasan lingkungan akan menghasilkan bentuk-bentuk kebebasan dan keadilan..
Ada masa dimana fase berat bisa kita lewati, dimana banyak terjadi perubahan, baik fisik maupun metafisik. Hanya sayangnya, simbol-simbol hakiki kebenaran sering menjadi samar. Apa yang kita takutkan dengan revolusi zaman, begitu drastis menyusup ke dalam ruang pemikiran manusia. Sebuah evolusi untuk mempertahankan nilai-nilai manusia, kemudian mengembangkan menjadi sebuah wujud yang bernilai (bermartabat), selalu saja dihadapkan pada hitungan untung-rugi kekuasaan.
Entah, yang kemudian menjadi simbol keagungan literasi, mencoba meraba zaman dengan friksi pemikiran, yang kemudian menyingkirkan friksi budaya, karena dianggap nilai-nilai yang ada di budaya hanya ilmu statis, tak mampu bergerak. Dalam teori politik pun, tak akan mungkin bisa dipungkiri, bahwa teori bagaimana mempertahankan kekuasaan dan melebarkan sayap kekuasaan menjadi sebuah rumus kapitalisme (meski ini tidak absolut).
Dalam framing zaman atau era, perubahan-perubahan yang mengiringinya senantiasa berbanding lurus dengan pertumbuhan makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Masa, dimana beberapa pakar juga menyebutnya dengan era digital, sebuah fase dimana peran dan fungsi budaya mulai ditinggalkan. Artinya, ruang kreatif harus mampu bersinergi dengan musuh kapitalis, terutama kapitalis teknologi. Maka, mengulik peradaban zaman, penguasaan zaman adalah ruang kreatif bagi bagi para kapitalis.
Tentu, tulisan ini secara keseluruhan tidak bermakna bahwa peredaran orbit waktu adalah ruang yang mengendalikan kapitalisme. Tetapi ruang waktu yang dikatakan peredaran masa atau zaman yang terstimulus oleh kemampuan subjek dalam mengendalikan perubahan-perubahan, termasuk revolusi di dalamnya, yakni manusia sebagai objek pelaku. Maka secara linear, ruang global adalah tempat dimana kefanaan materi sebagai subjek yang mendorong terjadinya proses penguasaan atau kapitalisme.
Sehingga apa yang dinamakan lakon dalam penguasaan kapitalisme, adalah manifestasi kemajuan pemikiran yang akhirnya dikait-kaitkan dengan dinamika politik. Tetapi dalam hukum normatif, sering kita salah dalam memahaminya. Kebebasan pemikiran adalah ruang kreatif secara subjektif, bukan sebagai objek pelaku (objektif). Batasan ini terkadang menimbulkan presisi yang beragam, hingga sering kebebasan pendapat atau beropini menjadi justifikasi sosial.
Akhirnya, apa yang dikatakan sebagai lakon sebagaimana judul di atas bukanlah konsep dalang yang menunggu pementasan panggung. Tetapi lakon yang senantiasa menghidupkan ruang kreatif pemikiran, dan sedikit rentan dengan ketersinggungan entitas manusia dalam membangun sebuah kapitalisme kekuasaan politik.