Dalil pembenaran pikiran manusia menghadapi ujian dan cobaan. Dimana kita harus mencari perlindungan!? Semua bangkit untuk mencari dimanakah sejatinya yang dikatakan Tuhan sebagai tempat berlindung, meski hanya dalam wujud doa. Mungkin kita terlalu absurd dalam memaknai, bahwa ada lakon di balik catatan antara politik dan pandemi.
Kita, melihat bencana yang berposisi sebagai objek penderita ini mulai kehilangan nalar, mulai goyah dengan apa yang dititipkan sebagai amanat orang beragama (mengenal Tuhan). Prinsip humanisme (kemanusiaan) tidak lagi dianggap dalil untuk memanusiakan manusia. Meski kurang etis untuk disebutkan, orang-orang yang meninggal karena terkena Virus Corona tak ada bedanya seperti sampah. Sekalipun semua manusia ketika meninggal, bermartabat dengan sebutan mayat.
Entah kapan, kondisi yang dialami seperti saat ini, menjadi sebuah cerita sejarah. Dimana-mana orang menjadi lakon hidup, seakan kita membaca nukilan cerita wayang yang dimainkan oleh para dewa. Masa dimana sebuah peradaban yang melahirkan berbagai versi cerita, sebuah cerita fiksi yang tersusun alur tokoh, protagonis dan antagonis, dan dibumbui kisah asmara, sehingga menjadi rebutan para dewi. Kita secara refleks, kadang merindukan manifestasi sejarah yang berkultur. .
Cerita wayang ini bukanlah perang masa kini, yang lebih banyak melibatkan pertarungan dua jagoan, yang akhirnya dari perseteruan menjadi tokoh sentral dalam menjaga nilai budaya. Nilai itu adalah sebuah kemerdekaan (kebebasan) dan keadilan terhadap ruang-ruang kreatif pemikiran. Sangat musykil jika dalam keterbatasan lingkungan akan menghasilkan bentuk-bentuk kebebasan dan keadilan..
Ada masa dimana fase berat bisa kita lewati, dimana banyak terjadi perubahan, baik fisik maupun metafisik. Hanya sayangnya, simbol-simbol hakiki kebenaran sering menjadi samar. Apa yang kita takutkan dengan revolusi zaman, begitu drastis menyusup ke dalam ruang pemikiran manusia. Sebuah evolusi untuk mempertahankan nilai-nilai manusia, kemudian mengembangkan menjadi sebuah wujud yang bernilai (bermartabat), selalu saja dihadapkan pada hitungan untung-rugi kekuasaan.
Entah, yang kemudian menjadi simbol keagungan literasi, mencoba meraba zaman dengan friksi pemikiran, yang kemudian menyingkirkan friksi budaya, karena dianggap nilai-nilai yang ada di budaya hanya ilmu statis, tak mampu bergerak. Dalam teori politik pun, tak akan mungkin bisa dipungkiri, bahwa teori bagaimana mempertahankan kekuasaan dan melebarkan sayap kekuasaan menjadi sebuah rumus kapitalisme (meski ini tidak absolut).