Scroll untuk baca artikel
Kolom

Lakon dalam Kapitalisme Kekuasaan Politik

Redaksi
×

Lakon dalam Kapitalisme Kekuasaan Politik

Sebarkan artikel ini

PENGGIRINGAN opini saat ini bisa dikatakan sudah melewati fase-fase kritis, dimana bangsa dan negara dihadapkan pada  persoalan global yang dinamakan krisis demokrasi (Crisis of Democracy). Berbagai isu global selalu dihubungkan dengan bagaimana pentingnya opini politik.

Dalam penggiringan opini publik yang berorientasi politik, sering kita baca kebijakan pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, sering menjadi sorotan yang kemudian memunculkan kerentanan berpolemik. Apa yang disyaratkan dalam agama sering berbenturan dengan konteks sosial. Tetapi ini adalah sebuah kedinamisan pemikiran dari seseorang yang harus disadari secara bijak, bahwa manusia kadang khilaf lisan.

Sejak merebaknya wabah Covid-19, orang dihadapkan pada musuh yang tidak mampu dilihat dalam keterbatasan penglihatan manusia. Pertentangan gagasan, kemudian melahirkan rasa takut, cemas dan panik hingga pada pertentangan klimaks antara satu dengan yang lainnya saling mencurigai. Dalam situasi semacam ini, apakah pemikiran kapitalis mampu untuk menyelamatkannya!? Bisa iya, bisa tidak. Apa yang dihadapi adalah sebuah dimensi ruang ketidakpastian, tidak bisa diukur secar matematis logika manusia.

Virus Corona berjalan dengan kaki dan dengan tangannya (baca: sel hidup), tanpa takut siapa itu manusia yang mampu membangun kapitalis. Dan manusia pun, dimana-mana atas nama bangsa dan negara, berperang melawan virus ini. Sebuah pertempuran yang begitu dashyat hingga sudah memakan ribuan orang meninggal. Siapa yang menjadi panglima perang atau pemimpin bagi manusia? Maka secara rasional, adalah kekuatan simultan dari seluruh elemen bangsa.

Kekuasaan, sepertinya sudah bermakna “didewakan, meski kita sendiri lebih suka disebut bermartabat dalam kodrat manusiawi. Bagaimana meraba konsep dewa pada zaman yang telah maju dan dikatakan zaman di atasnya modern. Para ahli, ilmuwan dan pakar menyebut dengan era globalisasi. Semua instrumen banyak dikendalikan oleh alih teknologi. Nalar dan logika manusia seakan mampu menembus langit, hingga dalam kekuasaannya menjadi “seolah-olah seperti Tuhan”..

Konstelasi pemikiran manusia seperti dewa yang turun dari langit, kemudian membentuk kekuatan yang melibatkan orang banyak untuk membantunya. Membangun sebuah dinasti, apa yang disebut sebagai kapitalisme. Dimana terjadi pemanfaatan bahasa retorika, yang begitu cepat menyebar akibat dampak kemajuan iptek.

Kita baru sadar, bahwa ada dimensi ruang yang tak mampu dijangkau manusia secara cepat dan dengan keterbatasan kasat mata. Pandemi, bukanlah barang gaib, bukan dewa yang muncul begitu saja tanpa sebab akibat. Maka ketika wilayah Wuhan di China terserang wabah ini, semua mata dunia seakan terbuka lebar dan fungsi nalar logika manusia menjadi terbatas (sempit). Dimana-mana muncul rasa ketakutan, cemas, panik hingga entitas manusia seperti kehilangan kekuasaannya.

Dalil pembenaran pikiran manusia menghadapi ujian dan cobaan. Dimana kita harus mencari perlindungan!? Semua bangkit untuk mencari dimanakah sejatinya yang dikatakan Tuhan sebagai tempat berlindung, meski hanya dalam wujud doa. Mungkin kita terlalu absurd dalam memaknai, bahwa ada lakon di balik catatan antara politik dan pandemi.

Kita, melihat bencana yang berposisi sebagai objek penderita ini mulai kehilangan nalar, mulai goyah dengan apa yang dititipkan sebagai amanat orang beragama (mengenal Tuhan). Prinsip humanisme (kemanusiaan) tidak lagi dianggap dalil untuk memanusiakan manusia. Meski kurang etis untuk disebutkan, orang-orang yang meninggal karena terkena Virus Corona tak ada bedanya seperti sampah. Sekalipun semua manusia ketika meninggal, bermartabat dengan sebutan mayat.