Ketiga, kurangnya perlindungan bagi tenaga kerja dan UMKM membuat mereka menjadi korban pertama saat krisis melanda.
Jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, Lebaran 2025 bukan hanya akan dikenang sebagai momen yang suram, tetapi juga sebagai awal dari krisis ekonomi yang lebih dalam.
Pemerintah harus segera bertindak, bukan hanya untuk menyelamatkan tradisi mudik dan kebahagiaan Lebaran, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan ekonomi Indonesia di masa depan.
Tradisi Konsumsi yang Tertekan Daya Beli
Ramadhan dan Lebaran selalu menjadi puncak siklus konsumsi di Indonesia. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi kebutuhan pangan, busana baru, dan persiapan mudik, meski daya beli tahun ini terancam oleh tekanan ekonomi.
Data terbaru menunjukkan, meski konsumsi meningkat secara musiman, pertumbuhannya lebih landai dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2024, inflasi bulan Maret mencapai 0,52% (month-to-month), mencerminkan dorongan konsumsi yang kuat.
Namun, memasuki 2025, deflasi dua bulan berturut-turut (-0,76% di Januari dan -0,02% di Februari) mengisyaratkan lemahnya permintaan domestik.
Faktor lain yang membayangi adalah lonjakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Sepanjang 2024, tercatat 77.965 kasus PHK, dan di Januari 2025, tambahan 3,325 pekerja kehilangan mata pencaharian di Februari 2025 diprediksi tambahan 60,000 dari 50 perusahaan.
Kondisi ini membuat rumah tangga lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang, meski tradisi Ramadhan sulit dihindari.
Proyeksi konsumsi selama Ramadhan 2025 diperkirakan mencapai Rp1.188 triliun, tetapi pertumbuhannya hanya sekitar 5-7%, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 9-12% pada 2023 dan 2024.
Belanja Fashion: Terhimpit Impor dan Daya Beli yang Lesu
Sektor fashion selalu menjadi primadona jelang Lebaran, tetapi tahun ini ceritanya berbeda. Lonjakan permintaan busana muslim dan pakaian baru terhambat oleh dua faktor: banjir produk impor dan daya beli yang tertekan.
Pada 2024, sekitar 37 ribu kontainer pakaian impor—baik legal maupun ilegal—memenuhi pasar domestik, membuat produsen lokal kesulitan bersaing.
Meski pemerintah memberlakukan pembatasan impor pakaian bekas dan regulasi ketat, dampaknya belum signifikan.
Berdasarkan survei Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), penjualan produk tekstil lokal pada Januari-Maret 2025 hanya tumbuh 3%, jauh di bawah pertumbuhan 15% pada periode yang sama di 2024.
Padahal, tradisi “baju lebaran” masih kuat. Masyarakat tetap membeli pakaian baru, tetapi dengan budget lebih ketat.