Dekade-dekade ini adalah fase ini penting untuk mengendalikan seberapa besar emisi yang muncul dari aktivitas manusia di luar kebutuhan bernapas. Dalam hal itulah, pada 12 Desember 2015, 196 negara menyepakati Perjanjian Paris untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius dan menekannya lebih dalam sampai 1,5 derajat Celcius.
Negara-negara ini, termasuk Indonesia, juga sepakat meningkatkan kemampuan masing-masing untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim dan setahap demi setahap mewujudkan pembangunan rendah emisi sembari tetap menjaga aktivitas ekonomi.
Kesepakatan inilah yang sering disebut sebagai Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC).
Di dalam komitmen NDC, Indonesia menetapkan untuk menurunkan emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.
Sejauh ini, meskipun komitmen tentang lingkungan sudah mulai gegap gempita, dan dampak dari perubahan iklim sudah amat terasa, belum ada dukungan teknologi yang memadai. Aktivitas ekonomi dunia masih amat bergantung pada teknologi berbasis energi kotor seperti batu bara. Padahal, batu bara melepas banyak sekali emisi ke atmosfer.
Cara terbaik dalam upaya menuju emisi nol telah banyak sekali dirancang, mulai dari transformasi dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT); membuat skema perdagangan karbon; sampai cara-cara alamiah seperti mencegah deforestasi, penanaman lebih banyak pohon, mencegah degradasi lahan, mengurangi sampah plastik, dan menjaga ekosistem laut serta perairan.
Semua jalan itu masih cukup berat terutama bagi Indonesia. Pertama, pemanfaatan EBT Indonesia masih belum optimal. Kita masih amat bergantung pada batu bara. Pada tahun 2020, porsi EBT dalam bauran energi masih sebesar 11,2%, kalah jauh dibanding gas bumi 19,16%, minyak bumi 31,60%, dan batu bara 38,04%.
Grafik Realisasi 2020
Grafik Target 2025
Grafik Target 2050
Sumber data: ESDM.
Bahkan, ketergantungan kita pada batu bara semakin ditegaskan dalam UU Cipta Kerja. Dalam salah satu pasalnya, disebutkan bahwa royalti untuk batu bara dapat diberikan sebesar nol persen. Tidak ada kalimat semacam itu yang diberikan kepada EBT. Artinya, pemerintah masih punya kepentingan ekonomi terhadap batu bara sebagai sumber penerimaan utama negara dan sumber energi domestik.
Kedua, soal skema perdagangan karbon. Ini merupakan skema yang menarik bagi Indonesia untuk mendukung upaya menuju emisi nol. Namun, masih ada kendala pada regulasi.
Secara sederhana, perdagangan karbon adalah pemberian insentif dari negara maju kepada negara berkembang atas jasanya mengelola hutan. Kenapa demikian? Hutan punya manfaat menyerap emisi, sementara emisi paling banyak dihasilkan di negara maju.