Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Lebih Jauh Memahami Emisi Nol

Redaksi
×

Lebih Jauh Memahami Emisi Nol

Sebarkan artikel ini

Sejauh ini, meskipun komitmen tentang lingkungan sudah mulai gegap gempita, dan dampak dari perubahan iklim sudah amat terasa, belum ada dukungan teknologi yang memadai. Aktivitas ekonomi dunia masih amat bergantung pada teknologi berbasis energi kotor seperti batu bara. Padahal, batu bara melepas banyak sekali emisi ke atmosfer.

Cara terbaik dalam upaya menuju emisi nol telah banyak sekali dirancang, mulai dari transformasi dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT); membuat skema perdagangan karbon; sampai cara-cara alamiah seperti mencegah deforestasi, penanaman lebih banyak pohon, mencegah degradasi lahan, mengurangi sampah plastik, dan menjaga ekosistem laut serta perairan.

Semua jalan itu masih cukup berat terutama bagi Indonesia. Pertama, pemanfaatan EBT Indonesia masih belum optimal. Kita masih amat bergantung pada batu bara. Pada tahun 2020, porsi EBT dalam bauran energi masih sebesar 11,2%, kalah jauh dibanding gas bumi 19,16%, minyak bumi 31,60%, dan batu bara 38,04%.

Grafik Realisasi 2020
Grafik Target 2025
Grafik Target 2050

Sumber data: ESDM.

Bahkan, ketergantungan kita pada batu bara semakin ditegaskan dalam UU Cipta Kerja. Dalam salah satu pasalnya, disebutkan bahwa royalti untuk batu bara dapat diberikan sebesar nol persen. Tidak ada kalimat semacam itu yang diberikan kepada EBT. Artinya, pemerintah masih punya kepentingan ekonomi terhadap batu bara sebagai sumber penerimaan utama negara dan sumber energi domestik.

Kedua, soal skema perdagangan karbon. Ini merupakan skema yang menarik bagi Indonesia untuk mendukung upaya menuju emisi nol. Namun, masih ada kendala pada regulasi.

Secara sederhana, perdagangan karbon adalah pemberian insentif dari negara maju kepada negara berkembang atas jasanya mengelola hutan. Kenapa demikian? Hutan punya manfaat menyerap emisi, sementara emisi paling banyak dihasilkan di negara maju.

Maka, sebagai bentuk kompensasi atas kemajuan teknologi yang diperolehnya (yang diraih dengan cara menyumbang banyak emisi global), negara maju perlu memberi hibah kepada negara berkembang agar pengelolaan hutan menjadi lebih baik dan berkualitas.

Namun meski demikian, sejauh ini pemerintah belum menentukan aturan yang konklusif terkait perdagangan karbon. Terlebih, ada kekhawatiran bahwa skema ini nantinya hanya akan menjadi ajang cuci tangan negara-negara maju. Mereka membayar sejumlah uang tanpa harus repot-repot menjaga emisi yang dikeluarkan.

Dengan begitu, perdagangan karbon berpotensi memberikan celah bagi negara maju yang banyak memiliki industri ekstraktif untuk tidak benar-benar secara serius menurunkan emisi.

Ketiga, upaya mencapai emisi nol dengan cara-cara alami, pun, masih punya banyak hambatan. Terlalu banyak aspek yang tak bisa ditulis dalam satu artikel terkait ini. Misalnya, pada soal hutan bakau saja, dari 3,31 juta hektare kawasan yang menyebar di 34 provinsi Indonesia, sebanyak 19% atau 637 ribu hektare di antaranya mengalami kondisi kritis.

Namun demikian, barangkali cara-cara alami untuk mencapai emisi nol adalah langkah yang paling memungkinkan untuk terus diupayakan, bahkan oleh kita masing-masing. Kita bisa mulai menjadi agen perubahan, dengan memberi perhatian lebih pada lingkungan sekitar kita, mengurangi penggunaan sampah plastik, memakai listrik secara bijak, dan lain-lain. []