Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Lebih Jauh Memahami Emisi Nol

Redaksi
×

Lebih Jauh Memahami Emisi Nol

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COSemakin santernya isu lingkungan dalam resonansi percakapan publik membuat istilah emisi nol (zero emissions) makin banyak diucapkan. Disebut bahwa emisi adalah sang antagonis. Kehadirannya membuat dunia bertambah panas. Lantaran itulah, banyak negara sepakat mengurangi emisi sampai titik nol sebagai skenario untuk menjadikan dunia teduh dan layak huni.

Kenapa emisi membuat dunia semakin panas, adalah karena ia terperangkap di dalam atmofser bumi. Sama seperti saat kita berada di sebuah rumah kaca yang didesain untuk memerangkap panas matahari. Dalam pengertian itulah, emisi sering disebut menghasilkan efek gas rumah kaca (GRK). Makin banyaknya GRK amat mengurangi kemampuan atmosfer menyerap panas dari matahari dan emisi bumi. Akibatnya, panas tersebut memantul kembali ke bumi.

Masalahnya, meningkatnya GRK yang melebihi batas toleransi bumi bisa menyebabkan banyak hal buruk terjadi. Dan kecenderungan tentang ini cukup mengkhawatirkan: emisi meningkat tajam dalam 137 tahun terakhir sejak revolusi industri.

Dalam pada itu, sebagai gambaran, tahun 2016 tercatat sebagai tahun yang paling panas dalam sejarah. Rata-rata temperatur global 0.99 derajat Celcius di atas temperatur abad ke-20. Jika lebih panas sedikit saja dari itu, akan banyak es di kutub yang mencair, permukaan laut bakal naik lebih tinggi dibanding tinggi daratan, dan seluruh keseimbangan alam bergerak labil dan merugikan manusia sendiri.

Dan, kenaikan suhu tersebut disumbangkan oleh emisi yang keluar dari aktivitas manusia.

Tapi jelas muncul pertanyaan besar di balik skenario emisi nol. Mungkinkah manusia—dan segala aktivitasnya—tidak memproduksi emisi sama sekali? Tidak.

Bahkan bernapas saja manusia memproduksi emisi asam arang (CO2). Jika pada tahun 2016 populasi manusia di dunia adalah 7,42 miliar jiwa, maka sumbangan emisi yang dihasilkan hanya dari proses bernapas saja mencapai sekira 5,8% terhadap volume emisi tahun itu yang sebesar 49,3 Gigaton CO2 ekuivalen.

Sebagai catatan, cara penyebutan total emisi ini penting diperhatikan. Sebab, sering kali penyebutan total emisi menjadi bias sebatas karbon dioksida (CO2) saja. Padahal ada pula metana (CH4), nitrat dioksida (N2O), perfluorokarbon (PFCs), hidrofluorokarbon (HFCs), dan sulfur heksaflourida (SF6).

Bias tersebut terjadi mungkin karena CO2 menjadi patokan untuk mengukur. Maka di sini menjadi penting untuk selalu memperhatikan pembubuhan term “setara” atau “ekuivalen” di belakang satuan emisi total.

Jika tadi disebutkan bahwa emisi tahun 2016 adalah sebesar 49,3 Gigaton CO2 ekuivalen, angka itu berarti sudah menghitung pula zat-zat lainnya. Sebaliknya jika hanya disebut, misalnya, 20 Gigaton CO2 saja, tanpa ‘ekuivalen’ di belakangnya, itu berarti yang dihitung hanya konsentrasi karbon dioksida.

Dekade-dekade ini adalah fase ini penting untuk mengendalikan seberapa besar emisi yang muncul dari aktivitas manusia di luar kebutuhan bernapas. Dalam hal itulah, pada 12 Desember 2015, 196 negara menyepakati Perjanjian Paris untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius dan menekannya lebih dalam sampai 1,5 derajat Celcius.

Negara-negara ini, termasuk Indonesia, juga sepakat meningkatkan kemampuan masing-masing untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim dan setahap demi setahap mewujudkan pembangunan rendah emisi sembari tetap menjaga aktivitas ekonomi.

Kesepakatan inilah yang sering disebut sebagai Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC).

Di dalam komitmen NDC, Indonesia menetapkan untuk menurunkan emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.