Scroll untuk baca artikel
Blog

Lestra Gelar Tirakatan Sastra dan Politiknya Toto Muryanto, Sosok Penentang Rezim Orde Baru

Redaksi
×

Lestra Gelar Tirakatan Sastra dan Politiknya Toto Muryanto, Sosok Penentang Rezim Orde Baru

Sebarkan artikel ini

Pada tahun 1977-1985 menjadi pemimpin redaksi Hikmah Tridharma, selain itu ia juga tercatat menjadi pemimpin majalah pendidikan Karisda dan pernah menjadi guru pada tahun 1975-2009 mengampu mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA Swasta.

Bukan Kitab Sejarah

Budayawan Eko Tunas mengawali pembahasan, namun sebelumnya ia mengkomplain acara ini. Menurutnya ada 3 kesalahan dalam acara yang diselenggarakan Lestra; Pertama, soal lampu sorot. Lampu sorot ini biasa digunakan untuk taman yang menyorot patung.

“Dimatikan tidak bisa, apakah biar kita membatu seperti patung,” ucap Eko.

Kedua, acara sudah dirancang sudah satu tahun yang lalu. Namun hal ini konfirmasi Kelana Siwi bahwa acara tersebut untuk acara lain

“Ketiga, ini acara dasyat dengan mendatangkan penyair dari Jakarta, Toto Muryanto. Namun publikasinya kurang, sehingga seperti tidak tampak. Meski demikian tetap terhibur, ada pembacaan puisi dari penyair kota-kota kecil,” tutur Eko Tunas.

Selanjutnya Eko Tunas mulai pembahasan politik kebudayaan. Eko mengatakan bahwa konteks dan konten itu berbeda.

Ia mencontohkan teh, bahwa gelas adalah konteks dan tehnya adalah kontennya. Namun seringkali, kontennya sudah ada, padahal itu konten.

“Banyak orang memuja pada ratapan dan romantisme. Sehingga puisi sekarang banyak yang lebay, sehingga hal ini menyebabkan masyarakat cengeng,” jelas Eko.

Eko Tunas mengatakan puisi Toto Muryanto telah melakukan pembebasan pikiran. Harap diketahui bahwa yang bisa melakukan pembebasan pikiran, maka ia akan menjadi orang yang merdeka.

Sementara itu, Muslichin mengatakan figur Soekarno bagi Toto Muryanto adalah idola hal ini dapat dibaca melalui puisi-puisinya tentang Soekarno.

“Meski demikian, Toto Muryanto memposisikan diri secara ideologis di antara orang-orang Lekra dan Manikebu. Sebagai pengagum Soekarno, ia tidak memihak pada kawan-kawannya di Lekra atau sahabatnya yang memilik di Manikebu,” ujar Muslichin.

Ketua Lesbumi NU Kendal ini menyampaikan buku puisi Baru 81 karya Toto Muryanto bukanlah kitab sejarah.

“Namun dengan puisi-puisi dalam buku tersebut kita menyadari bahwa Indonesia pernah mengalami episode yang menyimpan luka yang menganga. Sebagai penyait, Toto Muryanto hanya membingkai luka negeri dengan kosa kata sastra,” ucap Muslichin.

Jo Priastana mempertanyakan tema-tema puisi yang diambil Toto Muryanto kenapa harus orang tua bukannya orang-orang milenial.

Video selengkapnya: