BARISAN.CO – Ajaran Islam mengenal 5 fitrah manusia, sebagaimana hadis Rasulullah Saw yakni mencukur bulu kemaluan, khitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.
خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ: الِاسْتِحْدَادُ والْخِتَانُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ
Artinya: “Lima perkara merupakan fitrah, yaitu mencukur bulu kemaluan, berkhitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.” (HR. Muslim).
Lantas apakah makna fitrah menurut hadis di atas? Apakah 5 macam fitrah dalam Islam tersebut hukumnya wajib, sehingga harus dikerjakan.
Dikutip dari NU Online bahwasanya para ulama menafsirkan kata “fitrah” memiliki perbedaan pendapat. Namun mayoritas ulama memaknai 5 fitrah manusia menurut Al-Khaththabi yakni sunah nabi atau kebiasaan yang dikerjakan Rasulullah Saw.
خَمْس مِنْ الْفِطْرَة ) قَالَ النَّوَوِيّ : هِيَ بِكَسْرِ الْفَاء وَأَصْلهَا الْخِلْقَة قَالَ تَعَالَى { فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا }وَاخْتَلَفُوا فِي تَفْسِيرهَا فِي هَذَا الْحَدِيث فَقَالَ الشَّيْخ أَبُو إِسْحَاق الشِّيرَازِيّ فِي الْخِلَاف وَالْمَاوَرْدِيّ فِي الْحَاوِي وَغَيْرهمَا مِنْ أَصْحَابنَا هِيَ الدِّين ، وَقَالَ الْخَطَّابِيُّ فَسَّرَهَا أَكْثَر الْعُلَمَاء فِي هَذَا الْحَدِيث بِالسُّنَّةِ
“Menurut An-Nawawi, bahwa kata yang terdiri dari huruf fa-th-ra-ta (marbuthah) itu berharakat kasrah pada huruf fa-nya dan makna asalnya adalah khilqah (penciptaan). Allah SWT berfirman, ‘Tetaplah atas fitrah (penciptaan) Allah yang telah menciptakaan manusia menurut fitrah itu,’ (QS. Ar-Rum: 30).
Para ulama berselisih pendapat mengenai tafsir yang tepat terhadap kata fitrah dalam hadits ini. Menurut Syaikh Abu Ishaq As-Syirazi dalam kitab Al-Khilaf, Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi dan para ulama selain keduanya dari kalangan Madzhab Syafi’i maka fitrah dalam hadits tersebut adalah agama (ad-din).
Menurut Al-Khaththabi, kebanyakan para ulama menafsirkan kata fitrah dalam hadits tersebut adalah sunah (kebiasaan yang biasa dipraktikkan atau dilakukan).” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah Al-Irsyad, juz I, halaman 338).