Ketiga pemilih tradisional. Yakni: tipe pemilih yang memiliki orientasi tinggi terhadap ideologi namun tidak mementingkan kebijakan partai politik dalam mengambil keputusan. Keempat, pemilih skeptis. Yakni: tipe pemilih yang tidak memiliki orientasi terhadap ideologi dan tidak menjadikan program sebagai hal penting dalam menentukan pilihan.
Sementara Tim Peneliti dari Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) pada 2019 melakukan penelitian perihal milenial di berbagai kota. Hasilnya terdapat menjadi empat karakter, yaitu: Doubtfulness, Open minded, Modest, dan Apatethic. Doubtfulness adalah generasi milenial yang masih belum menentukan pilihan.
Sedangkan open minded adalah pemilih yang memiliki partisipasi dan pengetahuan tinggi terkait politik. Modest adalah pemilih yang memilih beradasarkan peer atau orang terdekat. Sementara apatethic adalah pemilih yang memiliki karakter belum memiliki pilihan. Selain itu, pemilih seperti ini cenderung kurang peduli terhadap perpolitikan.
Dalam pengamatan Peneliti LIPI Wasisto Raharjo Jati, terdapat beberapa karakter pemilih muda. Diantaranya voluntarisme. Ditandai dengan keterlibatan dalam gerakan relawan. Misalnya, relawan Jokowi, Anies Baswedan, teman Ahok, sahabat Ridwan Kamil, Relawan Demokrasi (Relasi) KPU, anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan lain-lain. Kemudian karakter kolegialitas. Cirinya mereka membangun eksistensi dan representasi dengan membentuk kelompok atau komunitas sendiri, misalnya dalam kelompok bermusik atau komunitas olah raga.
Dengan karakteristik perilaku pemilih milenial yang demikian plural, akan lebih aman menyebutkan pemilih milenial sebagai pemilih dinamis, fluktuatif, dan cair. Ini artinya di dalam diri pemilih milenial bersemayam atau terakumulasi sifat positif maupun negatif. Seperti rasional, kritis, dan open minded sekaligus peragu, labil, apatis, atau skeptis. Selain selalu tetap saja ada potensi kaum milenial yang dominan sifat positifnya, atau sebaliknya dominan sifat negatifnya.
Dengan sifatnya seperti itu, maka pemilih milenial bisa disebut sebagai massa mengambang (floating mass), mudah menyebrang dari satu partai ke partai lainnya (swing voter), belum mengambil keputusan (undecided voter), dan sebagainya. Manakala partai politik dan kandidat berusaha berburu ceruk pemilih milenial bukan semata karena jumlahnya yang besar, melainkan karena sifat dan karakteristik pemilih yang masih sangat mungkin untuk dipengaruhi.