“M” Frustasi dan Sajak Jatuh Cinta karya Emha Ainun Nadjib. Siapakah “M” Muhammad Ainun Nadjib, dan bagaimanakah “M” Nabi Muhammad
YOGYA, 1990-an. Di satu gang di Patangpuluhan, ada tiap hari seorang gadis muda riwa-riwi. Namanya Nur. Sebenarnya tergolong cantik. Tapi dia tampak kumal, tidak pernah mandi, berambut masai. Ya, maaf, dia gadis yang dibilang mengalami gangguan jiwa.
Tulisan ini tidak hendak membicarakan Nur. Tapi kalau nanti ada kaitan, sekadar berpaut dengan namanya. Pun jika ada yang mengingat satu peristiwa pada suatu hari, ya itu hal yang sifatnya notabene.
Soalnya, di gang itulah kesekian rumah kontrakan Emha Ainun Nadjib. Dan saya pernah gulang-gulung di situ.
Sebelumnya rumah kontrakan Emha di Kadipaten Wetan. Satu rumah 3X4, di antara rumah-rumah deret yang menempel di tembok Kraton.
Kamar mandinya untuk umum, dengan sumur bagai tanpa dasar, dan kerekan timba seng yang cukupan kecilnya. Di rumah itu saya pernah nunut tinggal, juga Eha Kartanegara dan Ebiet G Ade acap mampir.
Di rumah berpenerangan teplok lampu minyak itulah, Emha muda menulis puisi-puisi yang kemudian terangkum dalam buku puisi pertamanya “M” Frustasi. Kira-kira tahun 1990-an.
Sekarang 2022. Saya mau merewind kepenyairan Emha. Bukan dengan ilmu sastra atau tasawuf, karena saya cukup sinau dari pergaulan 4-E. Pergaulan utang di warung, dua gelas sponsor, rokok sebatang untuk bertiga, dan rasa lapar yang puitis.
Kini yang saya dapat, sekadar ilmu rumangsa. Ilmu jalanan yang boleh diartikan sebagai subyektivasi, interpretasi, atau roso pangroso. Terutama kala bertanya-tanya: siapakah M — tentu bukan M-nya James Bond.
Siapakah M Muhammad Ainun Nadjib, dan bagaimanakah M Nabi Muhammad. Begitu mungkin pikir Emha Muda yang bersinau pada si penyair kuda Sumba Umbu Landu Paranggi.
Betapa terhadap Umbu Landu Paranggi pun Emha begitu takzim, apalagi kepada Nabi Muhammad. Ya, Emha mengakui berat Umbu sebagai guru kepenyairannya. Meyakini betul Umbu adalah seorang sufi. Bukankah sufi adalah kekasih Tuhan.
Tentu kita tidak paham kedekatan Muhammad Ainun Nadjib dengan Nabi Muhammad. Tapi gambarannya kira-kira, Emha cukup melewati Umbu, untuk sampai ke Nabi Muhammad.
Saya pun berumangsa, bukankah saya cukup dekat Emha guna sinau kepada Kanjeng Nabi. Untuk sampai ke Nur sang mulia.
Begitu takzim Emha terhadap Umbu, apalagi kepada Nabi Muhammad.
Akan tetapi bahkan Emha muda, sembari menimba air di sumur umum terdalam, pun sudah begitu dalam memasuki dirinya. Kira-kira begini pendalaman ‘eksistensi’ Muhammad Ainun Nadjib: aku bukan Umbu terkasih M, apalagi M Nabi Muhammad. Bukan sufi, bukan termulia, ya Allah. Aku, Muhammad Ainun Nadjib adalah M yang Frustasi.
Tetapi bukankah di dalam di tiap diri manusia ada Nur Muhamad. Mungkin kita mesti membedakan antara cahaya dan sinar. Ibarat sinar lampu saya hanya 10 Watt, Emha 1000 Watt. Itulah sebabnya, kalau saya berada di samping Emha ya nggak ada artilah, bagi yang menyaksikan.
Lalu bukankah di dalam lampu ada listrik. Di dalam listrik ada komponen, molekul, atom, dan pada gilirannya cahaya itu. Mengapa engkau musti frustasi hanya karena 10 Watt. Pun di dalam api teplok saat engkau menuliskan pertanyaan-pertanyaanmu tentang M.
Pun di dalam diri Mbak Nur. Dia bahkan telah meninggalkan segala dunia, sebab sang pacar telah meninggalkannya. Justru karena hatinya begitu polos, hingga menemu cahaya suci.
Dia bukan macam api teplok yang kau tiup padam usai kau menulis puisi.
Ya, dia sudah tak sabar untuk kembali ke cahaya, ke Nur. [Luk]