Scroll untuk baca artikel
Blog

Maitreya

Redaksi
×

Maitreya

Sebarkan artikel ini

SISI-sisi yang menarik antara harapan yang belum tercapai kini menjadi kabut mengikat batin terselimuti dengan angan-angan yang tidak pasti. Kini sisi-sisi itu menjadi kenangan yang tidak bisa diukir layaknya indahnya permadani dengan untaian batik Pekalongan dan layaknya ukiran dari Jepara yang mengisyaratkan kelembutan hati.

Kegelapan itu belum berlaku untuk mereka yang mempunyai cita-cita dan disebuah gubuk kecil dengan tali-tali yang mengikat, telah mengembangkan kain-kain dari plastik untuk berkibar ke angkasa, itulah hamparan serban yang menutup hari-hari ku.

Di tempat jauh dari asalku berada. Tampak di sana terbagi beberapa kelompok-kelompok keluarga aku melihanya dengan teliti mereka asyik bersendau gurau. Asyiknya mereka bercengkrama dengan seusianya, membuat aku jadi iri

Aku juga melihat anak-anak kecil berlarian dihibur oleh badut-badut sewaan yang tidak tahu dari mana asal mereka sesungguhnya, tapi aku sangat senang yang terpenting mereka dapat menghibur teman kecilku.

Ibu-ibu asyik berdiskusi eh…atau mereka jangan-jangan sedang mengosip tidaklah, mereka kan masih di depan tungku untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Aku melihat dengan mataku sendiri seorang bapak yang duduk termenung sendiri di atas drum besar sambil menikmati rokoknya yang tidak bermerk kayaknya rokok cerutu yang dihisap pejabat tinggi.

Badanku mulai lemas lunglai sesekali suaraku terkadang tidak dapat didengar namun sisi-sisi suara hatiku terus berteriak. Mataku tidak dapat mengeluarkan air lagi sebab telah aku tumpahkan waktu pertama kali aku merasakan hijrah di padang sahara yang panas ini, tetapi bukan kegersanggan yang aku temui yang ada hanya teriakan kepedihan dan dingin yang membujur kaku.

Aku hanya lemas merasakan pahit getir aroma dunia yang begitu menusuk untuk mereka yang tahan ujian sementara dari Tuhanya, mungkinkah ini hanya cobaan untuk mereka supaya berfikir atau salah siapa semua musibah ini bisa terjadi.

Mendung selalu saja mengelayuti otaku sore ini. Tenda-tenda berjajar rapi sinar mentari sore yang bercahaya tamaran belum juga mampu menyibaknya. Pikiranku benar-benar hanyut dan berkabut awan pekat.

Butir-butir air mata nan bening menetes dari mata yang tidak pernah salah, tapi aku tak menghiraukannya. Aku masih ingat pesan ibuku empat hari yang lalu ”Hidup itu harus di jalani dengan sabar dan syukur.

Bagaimana aku bisa sabar jika kaki dan tanganku terpasung oleh aturan yang mengikatku begitu kencangnya!

Bagaimana aku bisa syukur jika aku tidak mendapatkan kenikmatan dan kebahagian seperti orang-orang yang ada di atas sana!

Aku hanya mampu merintih dan sakit ini akan tersimpan dalam hati. Sementara sore ini senja semakin temaran. Aku tidak lagi mampu merasakan belaian kasih sayang ibu, kemesraan yang tak dapat diukur dengan waktu, telah lama sejak kecil aku juga sudah kehilangan bapak tercintaku yang belum pernah terlihat dengan mata sempurna ini. Seluruh tubuku mulai letih dan nyaris aku tak mampu untuk mengangkat bobot badanku yang hampir enam puluh kilo gram.

Dunia yang kita huni adalah dunia yang seperti besi yang tak bisa memuai, karena aku tak mampu merobohkan tiang-tiang tinggi dengan pencakar langitnya. Gedung-gedung bertingkat telah menjadi alas kami untuk meminta-minta. Aku telah dijadikan budak olehnya

Tuhan kau anugerahkan air yang begitu berkahnya bagi mereka yang tinggal di apartemen yang begitu mewahnya, sedangkan kami air itu telah mneghanyutkan gubuk-gubuk reot kami menuju bukit sengsaramu!

Apakah ini cobaan buat kami, padahal kami hanya ingin menikmati sedikit mentari pagi akan tetapi kenapa dunia semakin membenci kami! Apakah kau benci pada kami yang tak tau diri ini dan hanya bisa memohon!