Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Makna Kehidupan Dunia Hanyalah Kesenangan Tipu Daya

Redaksi
×

Makna Kehidupan Dunia Hanyalah Kesenangan Tipu Daya

Sebarkan artikel ini
kesenangan tipu daya
Ilustrasi foto/Pexels.com

Sekali lagi, tempat kembali manusia itu hanyalah Allah. Bahwa Allah Azza wa Jalla yang memiliki kita

SEKARANG ini terbukti, dunia merupakan kesenangan yang penuh tipu daya. Penuh hoaks, palsu, dan seolah mesti gimmick.

Kemampuan berliterasi masih jauh dari ideal. Padahal kalau ditarik kesimpulan dari lima ayat (1-5) surah Al-‘Alaq, kemampuan membaca niscaya akan dilebihkan di atas kemampuan-kemampuan yang lain.

Namun, sekira kemampuan itu justru tidak menuntun kita untuk semakin dekat kepada Allah Ta’ala, pikiran tidak tergugah untuk memperoleh cahaya ilmu, tidak mengikuti dan menggunakan terangnya cahaya, sungguh betapa ngeri jika Allah pun tidak akan memberi petunjuk kepada kita selamanya.

“Kalla innal-insana layathgha. Ar ra ahustaghna. Tidak, tetapi sungguh manusia melampaui batas. Karena melihat dirinya sudah serba cukup.” (Al-‘Alaq: 6-7).

Tampak, betapa dungunya manusia yang melebihi batas-batas hak dan kewajibannya, sehingga berani membangkang perintah-Nya, dan senantiasa merugikan sesama makhluk.

Karena sesungguhnya semua ilmu dan kecakapan kita itu merupakan karunia Allah. Jadi, tidaklah sewajarnya jika menganggap semua yang menyelimuti kita sebagai hasil prestasi sendiri.

Manusia, dengan sombong dan angkuhnya, menyalahartikan pemberian Tuhan sebagai hasil daya upaya sendiri. Berasa tak butuh, bahkan menganggap sama sekali tiada peran Tuhan dalam hidup ini.

Bahwa pemberian yang berupa kekuatan atau keindahan, kekayaan, kedudukan atau kekuasaan, atau pemberian yang lebih halus berupa ilmu dan bakat pada pribadi-pribadi, dianggap bukan sebuah anugerah dari Tuhan.

Dan macam beginilah yang terbit rasa besar hati tatkala merasa mampu mengupayakan sendiri, tidak membutuhkan pihak lain.

Ia tidak merasa dirinya adalah sama dengan yang lain. Bahwa sepantasnya di tengah masyarakat itu saling membutuhkan dalam melestarikan keamanan dan menyempurnakan kebahagiaan.

Sampai-sampai tak tebersit dalam benaknya untuk melihat kekurangannya sendiri. Ia keras kepala, dan selalu mengatakan “aku mampu”.

Merasa cukup yang demikian sangatlah tercela, sebagaimana pula dalam surah Al-Lail ayat 8, “Orang yang kikir dan merasa dirinya serba cukup”.

Berbeda sekiranya dengan orang-orang bertakwa. Kekuatan dan kekayaan niscaya menjadi sarana yang dominan dalam mencapai kebaikan dan kebahagiaan untuk akhirat.

Yang membimbing dalam mengelola kekayaan, yang mendayagunakan kekuatan, adalah ilmu dan konsep keberagamaan yang jelas. Kaum muttaqin akan berada dalam panduan prinsip iman dan perilaku takwa.

Tetapi kebanyakan, hal yang sama, manusia dibimbing oleh hawa nafsu, oleh pengejaran kepuasan. Oleh karenanya, secara umum manusia yang digambarkan surah Al-‘Alaq ayat 6-7 merupakan kebanyakan yang merasa berada di jalan yang benar, padahal mendominankan ambisi diri, bukan Allah Ta’ala.

“Innal-insana layathgha, sungguh manusia melampaui batas”. Karena kesombongan itu biasanya datang ketika manusia merasa dirinya sudah berkecukupan.

Merasa berkecukupan akan membuat manusia tidak butuh siapa-siapa lagi bahkan Tuhan. Dia menyangka kekayaannya itulah yang akan menyelamatkannya.

Padahal sebetulnya, “Inna ila rabbikar-ruj’a, sungguh, kepada Tuhanmu akan kembali (semuanya).” (Al-‘Alaq: 8). Kekayaan dan apa pun, tidak akan ada yang bisa menjamin keselamatan dan keabadian manusia. Semua manusia akan mati, tanpa kecuali. Dan setelah itu, di akhirat, akan ada pertanggungjawaban.

Setiap ruh akan merasakan mati; tetapi hanya pada hari kiamat penilaian tentang kamu diselesaikan. Barangsiapa dijauhkan dari api (neraka) dan dimasukkan ke dalam surga, dialah yang mendapat kemenangan. Dan kehidupan dunia hanyalah kesenangan tipu daya.” (Ali Imran: 185).