Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Manusia Berakal Menurut Umar Ibn Khattab

Redaksi
×

Manusia Berakal Menurut Umar Ibn Khattab

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Manusia berakal adalah karunia Allah berupa pikiran atau dikenal dengan akal budi yakni mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Melalui akal budi inilah acapkali manusia juga disebut hewan berpikir, membedakan dengan binatang yang hanya dikarunia nafsu.

Filosof Aristoteles juga menyebut manusia sebagai hewan yang berakal, berpikir dan bertindak berdasarkan akal. Bahkan Aristoteles selain menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang berfirir, manusia juga disebut dengan zoonpoliticon yakni hewan yang berpolitik. Arti zoonpoliticon sebab manusia hidup bermasyarakat, berorganisasi dan berkomunikasi melalui bahasa.

Sahabat Nabi Muhammad Saw, Umar bin Khattab mengatakan:

Manusia yang berakal ialah manusia yang suka menerima dan meminta nasihatUmar bin Khattab

Akal adalah satu faktor pembeda antara manusia dan mahluk lainnya. Semua mahluk ciptaan Allah memang disertai otak, namun hanya otak manusia yang bisa digunakan untuk berfikir oleh karenanya manusia disebut sebagai mahluk yang berakal.

Salah satu penyakit mahluk berakal adalah berfikir tanpa control bahkan cenderung melebihi batas, padahal tanpa adanya control akan dimungkinkan manusia akan tersesat.

Untuk itulah Umar Ibn Khattab menyebutkan bahwa manusia yang berakal adalah manusia yang suka menerima dan meminta nasihat.

Dinasehati adalah fitrah, panggilan jiwa dan kebutuhan manusia. Namun tidak semua manusia -termasuk yang memberikan nasehat- senang dinasehati, serta bersedia mendengar, menerima dan menjalankan nasehat.

Lebih dari itu, orang yang menjadi obyek nasehat bisa marah, menganggap orang yang memberikan nasehat ikut campur urusannya, dan mencap orang yang menasehatinya sebagai orang yang sok suci.

Rasulullah Saw bersabda:

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ ، وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ ، يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ ، وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ

Artinya: “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya, dan seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, mencegah hilangnya pekerjaan dan harta saudaranya, serta menjaga segala urusan saudaranya ketika tidak berada di tempat.” (HR. Abu Dawud)

Sejatinya dinasehati adalah menguntungkan. Selayaknya orang yang dinasehati tidak cukup sekadar mendengar dan menerima nasehat dengan senang dan ikhlas hati.

Tapi lebih dari itu seharusnya dia merasa beruntung, bersyukur kepada Allah Swt lalu berterima kasih kepada orang yang menasehatinya meskipun cara memberikan nasehat kurang berkenanan di hati.

Mengapa demikian? Karena masih ada orang lain yang peduli pada dirinya, pada keselamatan dan kebahagiaan dirinya di dunia ini dan di kehidupan di akhirat kelak.

Orang yang menasehatinya berarti telah menyelamatkan diri, kehidupan dan agamanya, serta membuat dirinya bahagia bukan hanya di kehidupan yang fana ini tapi juga di kehidupan yang kekal kelak.

Nasehat yang diberikan orang lain ketika kita berniat akan berbuat salah bisa mencegah kita benar-benar jadi berbuat salah.

Nasehat yang kita terima ketika kita telah berbuat salah menjadikan diri kita bisa mengetahui dan menyadari kesalahan kita, mencegah kita terus menerus melakukan perbuatan salah, serta bisa mendorong kita untuk bertaubat.

Sebagai analogi, jika suatu ketika kita berdiri di sebuah sawah dan di belakang kita ada seekor ular besar berbisa. Ular itu sudah siap akan menggigit kaki kita. Kita tidak mengetahui keberadaan ular tersebut. Pada saat itu ada orang lain yang berada di depan kita mengetahui ular itu.

Lalu dia memberitahukan kepada kita. Tentu kita tidak marah, tapi justru berterima kasih karena telah menyelamatkan diri dan nyawa kita.

Itu adalah sikap yang alami dan normal. Semua orang normal pasti bersikap demikian. Lain halnya dengan orang yang tidak normal alias kurang waras. Dia bisa bersikap tidak normal.